Senin, 10 Agustus 2009

Afirmasi Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi

Afirmasi Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi

Yakub Adi Krisanto*

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 telah melahirkan perdebatan di kalangan aparat penegak hukum dan aktivis anti-korupsi. Bagi Jaksa Agung mengacu pada waktu putusan tersebut dibacakan menjadi hari besar bagi koruptor. Banyak pihak juga menilai bahwa pasca putusan MK akan kesulitan untuk menjerat koruptor karena perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi putusan MK harus dilihat secara objektif-rasional khususnya dalam praktek penegakan hukum (das sein).

Dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi telah terjadi beberapa praktek hukum yang lebih mendasarkan diri pada pemenuhan perbuatan melawan hukum formil. Pertama, aparat penegak hukum terbelenggu oleh ketentuan yuridis-formal dalam hal pengajuan ijin pemeriksaan pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan yuridis-formal didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur bahwa untuk pemeriksaan kepala daerah/wakil kepala daerah harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis harus diperoleh dari Mendagri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Propinsi dan Gubernur atas nama Mendagri untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, dalam hal untuk mendapatkan bukti adanya kerugian keuangan negara aparat penegak hukum mendasarkan diri pada hasil audit yang dilakukan oleh BPKP. Audit BPKP dalam praktek penyidikan sering menghambat proses penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi atau jaksa. Hambatan dimaksud bahwa proses audit memperpanjang rantai penegakan hukum, karena bagi aparat penegak hukum audit BPKP menjadi sebuah kemutlakan. Kemutlakan ini berarti bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi harus disertai dengan audit BPKP dan aparat penegak hukum tidak berani melakukan penilaian atas inisiatif sendiri untuk menentukan adanya kerugian negara.

Penilaian sendiri adanya kerugian negara selain akan menggunakan analisis perbuatan melawan hukum formil, kemungkinannya adalah melakukan kajian terhadap unsur-unsur tindak pidana korupsi dari perspektif perbuatan melawan hukum materiil. Tetapi aparat penegak hukum tidak cukup percaya diri dalam melaksanakan kajian terhadap perbuatan melawan hukum materiil. Dan ketidakpercayaan diri tersebut tidak datang dari tubuh kepolisian atau kejaksaan tetapi dari bagian lain dari aparat penegak hukum yaitu hakim. Hakim dalam memeriksa suatu tindak pidana korupsi lebih mengandalkan atau mengacu pada bukti formil dengan konsekuensi akan menggunakan perspekti dari perbuatan melawan hukum formil.

Ketiga, pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi di pengadilan oleh hukum lebih memprioritaskan pada pemenuhan perbuatan melawan hukum formil. Hakim cenderung untuk melihat apakah suatu perbuatan terdakwa telah memenuhi perbuatan hukum formil dari pada perbuatan melawan hukum materiil. Kecenderungan tersebut adalah mengandalkan pembuktian kerugian keuangan negara pada hasil audit BPKP atau hakim akan meminta hasil audit dari badan pengawas keuangan pemerintah. Atau hakim akan memeriksa suatu tindakan yang dituduhkan sebagai korupsi dilakukan dengan menyimpang atau menyalahi prosedur/ketentuan yang berlaku.

Penilaian terhadap suatu perbuatan apakah sudah sesuai dengan prosedur atau tidak menjadi salah satu bentuk untuk mencari perbuatan melawan hukum formil. Keempat, putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi cenderung mengedepankan perbuatan melawan hukum formil. Hakim jarang menggunakan pertimbangan hukum (legal reasoning) dalam putusan dengan analisis perbuatan melawan hukum materiil. Perbuatan melawan hukum materiil digunakan sebagai unsur pemberat dalam penjatuhan pidana, misalnya bahwa terdakwa adalah pejabat negara yang seharusnya memberik teladan atau koruptor belum pernah dipidana.

Dari keempat hal tersebut maka bahwa aparat penegak hukum dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi lebih memfokuskan pada aspek formil dari suatu tindak pidana. Penulis mempunyai pengalaman pada saat kepolisian mengusut kasus korupsi buku maka diusulkan untuk melihat kerugian negara dari aspek materiil yaitu tidak digunakannya buku oleh sekolah sudah merupakan bentuk kerugian negara. Atau bahwa ketika terjadi selisih kurang dari jumlah antara buku yang secara faktual sudah diterima/digunakan oleh sekolah dengan pengadaan buku yang ditentukan pada kontrak pengadaan maka sudah dapat diklasifikasikan sebagai kerugian negara. Namun usul tersebut ditolak dan kepolisian akan terlebih dahulu berkonsultasi dengan BPKP sebelum ditetapkannya tersangka pada kasus korupsi buku tersebut.

Praktek penegakan hukum demikian menjadi gejala umum dari upaya pemberantasan korupsi. Dan gejala umum tersebut semakin menegaskan aspek formil dari penegakan hukum. Untuk itu pertanyaanya apakah putusan MK tersebut bertentangan dengan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang selama ini dipraktekkan? Ataukah putusan tersebut akan menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Putusan MK menjadi afirmasi penegakan hukum dan tulisan ini merupakan sindiran bagi Jaksa Agung bahwa aparat kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi lebih mengandalkan pencarian bukti formil dan tidak berani mengungkapkan bukti materiil dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh koruptor.

Aparat penegak hukum harus berefleksi terhadap putusan MK tersebut.  Putusan MK akan mudah distigmatisasi sebagai pendukung aliran legalistik. Tetapi putusan MK lebih mengacu pada kepastian hukum yang adil dengan asumsi bahwa pertama, hukum diadakan harus dapat menjamin kehakekatannya yaitu menciptakan keadilan dan kepastian. Hukum harus mengandung keadilan dan kepastian, sehingga apabila tidak terkandung keadilan dan kepastian maka tidak dapat dikatakan sebagai hukum. Inilah yang menjadi titik tolak pandangan MK bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tidak dapat menjadi kepastian hukum' yang adil.

Adanya hubungan kata ‘dapat’ dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan keuangan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Untuk itu unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara harus dapat dibuktikan dan dihitung termasuk didalamnya masih merupakan perkiraan atau belum terjadi. MK menghendaki bahwa kerugian keuangan negara harus ditempatkan sebagai delik formil dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi. Berbeda halnya apabila sebagai delik materiil maka kerugian keuangan negara menjadi akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan harus telah terjadi.

Dalam pandangan MK (kerugian keuangan negara sebagai delik formil) tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Sehingga MK hanya merekonstruksi kembali penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK bahwa frasa ‘dapat merugikan keuangan negara’ yang menjadi akibat dari suatu perbuatan tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Bahkan apabila kerugian negara tidak dapat dibuktikan secara akurat dalam hal jumlah kerugian negara dipandang cukup untuk menuntut atau memidana pelaku sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti.

Pandangan MK ini menjadi terobosan hukum pada beban pembuktian tindak pidana korupsi. Dimana terpenuhinya salah satu unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi telah dapat digunakan untuk melakukan pemidanaan. Terobosan hukum ini akan mendorong penegakan hukum bagi para koruptor yang didasarkan pada perbuatan hukum formil. Kedua, bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK diluar yang ditafsirkan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki MK maka pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi ruang lingkup kewenangannya.

Aparat penegak hukum tidak perlu berapriori terhadap putusan MK karena putusan tersebut hanya merupakan penegasan dari praktek penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan pada upaya pemberantasan korupsi. Sehingga putusan MK menjadi penguat untuk menyakinkan langkah-langkah hukum yang sudah ditempuh dalam pemberantasan korupsi. Tetapi perlu diingat bahwa putusan MK memberikan suatu terobosan hukum khususnya bagi hakim yang mengadili kasus tindak pidana korupsi. Dimana bahwa terpenuhinya unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sudah cukup untuk melakukan pemidanaan koruptor.



* penulis adalah pengajar Fakultas Hukum UKSW Salatiga.