Selasa, 29 Desember 2009

'Membongkar Gurita Cikeas, dibalik skandal Bank Century'

Tulisan yang menghebohkan Republik Indonesia dalam hari-hari ini. Sempat membuat Presiden SBY merasa difitnah. Bukan bermaksud memberikan pembelaan, tetap tulisan George Aditjondro selalu merupakan hasil penelitian atau riset. Tetapi demi objektifitas penilaian diserahkan kepada sidang pembaca untuk menelusuri lebih jauh hasil pemikiran George. Silahkan di download disini

Rabu, 16 Desember 2009

Mendorong Partisipasi Masyarakat Sipil Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Pasca UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasca amandemen UUD 1945 penyempurnaan ketentuan normatif bagi otonomi daerah (otda) perlu dilakukan. Penyempurnaan ini berkaitan dengan hirarkhi pemerintahan dalam kerangka NKRI, mekanisme pemilihan DPRD dan Kepala Daerah, serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hirakhi pemerintahan tidak secara tegas diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen, karena hanya menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang.

Sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat menjadi kata kunci pelaksanaan otda. Karena semangat dari otda adalah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga negara yang selama masa pemerintahan orde baru lebih bercorak sentralistis (jakarta minded). Dalam kerangka itulah seharusnya pelaksanaan otda dipahami oleh pemerintah daerah, bukan malah memindahkan kekuasaaan politik jakarta ke daerah sehingga melahirkan raja-raja kecil dengan keinginan untuk dilayani dan menumpuk kekayaan pribadi. Bagaimana pelayanan dan partisipasi masyarakat daerah dapat ditingkatkan dalam pelaksanaan pembangunan menjadi isu krusial otda?


Baca selengkapnya download disini

Calon Perseorangan Vs Partai Politik

Demokratisasi Indonesia mengalami ‘guncangan’ besar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang mengijinkan calon perseorangan dalam pilkada. Guncangan besar tersebut dapat melahirkan keseimbangan hak politik warga negara yang selama ini di pegang dalam kuasa partai politik (parpol). Keseimbangan hak politik ini adalah hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sama sederajat dengan parpol. Meskipun parpol dalam mengambil calon pemimpinnya berasal dari masyarakat, tetapi pencalonan tersebut ditenggarai terjadi transaksi politik yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat.

Keseimbangan hak politik menjadi momentum ruang kompetisi politik baru antara warga negara dengan partai politik yang berisi kumpulan warga negara. Ruang kompetisi politik menjadi wahana instropeksi bagi parpol dan masyarakat dalam menjalankan proses demokratisasi. Ruang kompetisi politik sebenarnya tidak akan melahirkan ketegangan baru, apabila diasumsikan bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan konflik politik dalam pilkada. Sehingga kompetisi politik terjadi pada saat rekrutmen politik calon kepala daerah baik (inisiatif) perseorangan maupun dari parpol.

Baca selengkapnya download disini

Minggu, 06 Desember 2009

Catatan singkat RPP tentang Tata Cara Intersepsi

RPP ini menjadi legitimasi atau dasar hukum untuk membentuk lembaga baru yaitu Pusat Intersepsi Nasional. Ini akan memudahkan pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyadapan (intersepsi) yang dilakukan oleh penegak hukum. Pengawasan dapat dengan mudah tergelincir pada kepentingan subyektif pemerintah, sehingga akan menghasilkan tebang pilih dalam penegakan hukum c.q pemberantasan korupsi.

Bahwa departemen yang mempunyai kewenangan atas PIN adalah Departemen Komunikasi dan Informasi. Pengaturan ini kontradiksi dengan pengaturan penyadapan dalam rangka hukum. Artinya Depkominfo dapat melakukan intervensi dalam proses penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Intervensi berlanjut dengan ketentuan bahwa pelaksanaan penyadapan diketahui (baca: dilaporkan) ke Menkominfo. Dengan demikian potensi intervensi penegakan hukum menjadi kasat mata, khususnya terkait bahwa POLRI dan Kejaksaan adalah ’bawahan’ presiden. Ini dikaitkan dengan ketentuan bahwa PP dengan tegas menyatakan bahwa pengaturan tentang penyadapan dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Selengkapnya dapat didownload disini
Download RPP tentang Tata Cara Intersepsi disini