Selasa, 29 Desember 2009

'Membongkar Gurita Cikeas, dibalik skandal Bank Century'

Tulisan yang menghebohkan Republik Indonesia dalam hari-hari ini. Sempat membuat Presiden SBY merasa difitnah. Bukan bermaksud memberikan pembelaan, tetap tulisan George Aditjondro selalu merupakan hasil penelitian atau riset. Tetapi demi objektifitas penilaian diserahkan kepada sidang pembaca untuk menelusuri lebih jauh hasil pemikiran George. Silahkan di download disini

Rabu, 16 Desember 2009

Mendorong Partisipasi Masyarakat Sipil Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Pasca UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasca amandemen UUD 1945 penyempurnaan ketentuan normatif bagi otonomi daerah (otda) perlu dilakukan. Penyempurnaan ini berkaitan dengan hirarkhi pemerintahan dalam kerangka NKRI, mekanisme pemilihan DPRD dan Kepala Daerah, serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hirakhi pemerintahan tidak secara tegas diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen, karena hanya menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang.

Sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat menjadi kata kunci pelaksanaan otda. Karena semangat dari otda adalah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga negara yang selama masa pemerintahan orde baru lebih bercorak sentralistis (jakarta minded). Dalam kerangka itulah seharusnya pelaksanaan otda dipahami oleh pemerintah daerah, bukan malah memindahkan kekuasaaan politik jakarta ke daerah sehingga melahirkan raja-raja kecil dengan keinginan untuk dilayani dan menumpuk kekayaan pribadi. Bagaimana pelayanan dan partisipasi masyarakat daerah dapat ditingkatkan dalam pelaksanaan pembangunan menjadi isu krusial otda?


Baca selengkapnya download disini

Calon Perseorangan Vs Partai Politik

Demokratisasi Indonesia mengalami ‘guncangan’ besar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang mengijinkan calon perseorangan dalam pilkada. Guncangan besar tersebut dapat melahirkan keseimbangan hak politik warga negara yang selama ini di pegang dalam kuasa partai politik (parpol). Keseimbangan hak politik ini adalah hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sama sederajat dengan parpol. Meskipun parpol dalam mengambil calon pemimpinnya berasal dari masyarakat, tetapi pencalonan tersebut ditenggarai terjadi transaksi politik yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat.

Keseimbangan hak politik menjadi momentum ruang kompetisi politik baru antara warga negara dengan partai politik yang berisi kumpulan warga negara. Ruang kompetisi politik menjadi wahana instropeksi bagi parpol dan masyarakat dalam menjalankan proses demokratisasi. Ruang kompetisi politik sebenarnya tidak akan melahirkan ketegangan baru, apabila diasumsikan bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan konflik politik dalam pilkada. Sehingga kompetisi politik terjadi pada saat rekrutmen politik calon kepala daerah baik (inisiatif) perseorangan maupun dari parpol.

Baca selengkapnya download disini

Minggu, 06 Desember 2009

Catatan singkat RPP tentang Tata Cara Intersepsi

RPP ini menjadi legitimasi atau dasar hukum untuk membentuk lembaga baru yaitu Pusat Intersepsi Nasional. Ini akan memudahkan pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyadapan (intersepsi) yang dilakukan oleh penegak hukum. Pengawasan dapat dengan mudah tergelincir pada kepentingan subyektif pemerintah, sehingga akan menghasilkan tebang pilih dalam penegakan hukum c.q pemberantasan korupsi.

Bahwa departemen yang mempunyai kewenangan atas PIN adalah Departemen Komunikasi dan Informasi. Pengaturan ini kontradiksi dengan pengaturan penyadapan dalam rangka hukum. Artinya Depkominfo dapat melakukan intervensi dalam proses penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Intervensi berlanjut dengan ketentuan bahwa pelaksanaan penyadapan diketahui (baca: dilaporkan) ke Menkominfo. Dengan demikian potensi intervensi penegakan hukum menjadi kasat mata, khususnya terkait bahwa POLRI dan Kejaksaan adalah ’bawahan’ presiden. Ini dikaitkan dengan ketentuan bahwa PP dengan tegas menyatakan bahwa pengaturan tentang penyadapan dilakukan dalam rangka penegakan hukum.

Selengkapnya dapat didownload disini
Download RPP tentang Tata Cara Intersepsi disini

Selasa, 24 November 2009

Hukum Asuransi

Dalam UU No. 2/1992 pasal 1 angka 1 memberikan definisi asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Berdasarkan definisi asuransi diatas, diketahui bahwa asuransi merupakan perjanjian antara dua pihak atau lebih, antara penaggung dengan tertangggung. Prof. Emmy Pangaribuan seperti dikutip oleh Dr. Sri Rejeki Hartono, SH., menjabarkan sifat-sifat perjanjian asuransi sebagai berikut:
1. Perjanjian asuransi pada asasnya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (schadeverzekering atau niteits contract). Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalahh seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip indemnitas).
2. Perjanjian Asuransi adalah perjanjian bersyarat. Kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi.
3. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiiban penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.
4. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tentu atas mana diadakan asuransi.

Baca selengkapnya download disini

Untuk bahan kuliah dalam bentuk power point dapat di download disini

Rabu, 18 November 2009

Laporan dan Rekomendasi Tim 8

Tanggal 16 November 2009 menjadi salah satu titik klimaks dari perseteruan cicak vs buaya, dimana Tim 8 menyelesaikan tugasnya untuk melakukan investigasi kasus Bibit dan Chandra. Untuk itu teman-teman yang mau membaca dan mempelajari Laporan dan Rekomendasi Tim 8 dapat didownload disini

Rabu, 04 November 2009

Pengumuman Konversi Mahasiswa FH UKSW

Mahasiswa diharapkan dapat mendowload formulir konversi di sini dan mengisi formulir tersebut berdasarkan nilai yang terdapat dalam transkip nilai dari mahasiswa yang bersangkutan.

Setelah formulir diisi, dikirim via email ke yakubadi@gmail.com dengan subject ditulis Konversi FH UKSW. 

Dosen Wali akan mengoreksi  konversi yang dilakukan mahasiswa, dan akan mengumumkan [1] waktu penandatanganan formulir konversi oleh mahasiswa bagi pengisian yang sudah benar dan [2] konversi yang belum benar sehingga harus dilakukan perbaikan oleh mahasiswa.

Harap menjadi perhatian. Terimakasih, Tuhan memberkati.

 

Salam

 

YAK

Kamis, 22 Oktober 2009

Menggagas Lahirnya Nasionalisme Anti Korupsi

Pendahuluan

Judul diatas mungkin terasa aneh dan janggal, tetapi apabila mengacu masalah bangsa yang selalu mengemuka oleh tangkapan media menghasilkan kesimpulan bahwa akar masalah Indonesia adalah KORUPSI. Tidak perlu melihat peringkat korupsi hasil beberapa lembaga nasional atau internasional dapat diketahui bahwa korupsi telah berurat akar di masyarakat Indonesia. Terlepas ada prinsip supply and demand, korupsi menjadi manifestasi perilaku menyimpang rakyat Indonesia. Namun perilaku tersebut tidak terlepas dari adagium, “ikan busuk berawal dari kepalanya”, karena rakyat Indonesia melakukan imitasi perilaku. Artinya bahwa kalau pemimpin, elit atau penguasa bisa melakukan korupsi (mereka), mengapa rakyat (kami) tidak bisa?

Dialektika proses inilah yang memperkuat bahwa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari korupsi. Upaya pemberantasan korupsi dalam kerangka penegakan hukum belum cukup ampuh untuk menekan praktek korupsi, atau hanya sebatas menakut-nakuti. Kecintaan terhadap Indonesia harus dimaknai sebagai keinginan untuk melihat Indonesia bebas korupsi. Cinta tanah air (nasionalisme) harus direintepretasikan, dan makalah ini mencoba melihat konsep nasionalisme sebagai sarana untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi. Dimana korupsi merupakan bentuk baru chauvinisme yaitu cinta buta terhadap Indonesia tanpa kemauan melihat kondisi faktual Indonesia yang compang-camping karena perilaku mementingkan diri sendiri dan golongannya.

Baca selengkapnya...........

Layanan Purna Jual Blackberry & Pertanggungjawaban Produk dalam UU Perlindungan Konsumen

Departemen Perdagangan (Depdag) RI mengambil sikap tegas berkaitan dengan layanan purna jual Blackberry di Indonesia. Bahwa Depdag RI akan menyatakan status illegal bagi Blackberry apabila melampaui tenggang waktu tanggal 15 Juli 2009 untuk menyediakan layanan purna jual dan menyertakan buku manual berbahasa Indonesia (Suara Merdeka, 14/07/2009). Status illegal Blackbery akan mempunyai konsekuensi yuridis yaitu produk tersebut tidak boleh beredar di wilayah RI dan pembekuan distribusi Blackberry di Indonesia. Bahwa apabila ada produk Blackberry yang beredar pasca pembekuan distribusinya oleh Depdag, maka Blackberry tersebut dipastikan sebagai produk illegal.

Meskipun akan ada perundingan antara Depkominfo dan Depdag RI, namun sikap tegas Depdag RI patut mendapatkan apresiasi dari konsumen di Indonesia. Apresiasi terhadap ketegasan sikap Depdag RI tersebut berkaitan dengan upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi konsumen Blackberry, khususnya dalam hal ketersediaan layanan purna jual produk. Dalam hal ini, Research In Motion (RIM) sebagai produsen Blackberry hanya akan membuat garansi toko atau operator telekomunikasi yang menjual produk Blackberry.

Baca selengkapnya.........

Rabu, 21 Oktober 2009

Perppu No. 4/2009: Menelikung UU KPK

Akhirnya Presiden SBY mengeluarkan Perppu Plt KPK. Sudah banyak pihak yang menganalisis mengenai ketepatan digunakannya Perppu dalam menyikapi kasus hukum yang melibatkan pimpinan KPK. Salah satu argumentasi yuridis yang digunakan adalah bahwa tidak terpenuhinya 'hal ihwal kegentingan yang bersifat memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Menurut Danang Kurniadi (www.detik.com), pertama, prasyarat 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' belum terpenuhi karena meski KPK saat ini hanya dipimpin dua komisioner tak berarti lembaga tersebut tak dapat menjalankan fungsinya. Unsur kolegial sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) masih terpenuhi.

Kedua, Perppu penunjukkan Plt pimpinan KPK terang menegasikan ketentuan dalam UU KPK yang mensyaratkan keikutsertaan DPR dalam penentuan pimpinan KPK. Dengan ditunjuk langsung maka hal itu juga akan mengganggu kemandirian KPK sebagai independence agencies. Ketiga, alasan Presiden yang lebih memilih menunjuk Plt dan mengesampingkan proses seleksi sebagaimana diamanatkan UU KPK terkesan terburu-buru dan sarat dengan muatan politis. Kecurigaan intervensi Presiden menjadi semakin tak bisa dielakkan.

Baca Selengkapnya.................

Senin, 19 Oktober 2009

Kumpulan Tugas MK Hukum Korporasi: JV dan Merger

Tugas-tugas terkumpul Hukum Korporasi dengan topik Joint Venture dan Kaitannya dengan UU Perseroan Terbatas dapat di download disini..........

Tugas-tugas terkumpul Hukum Korporasi dengan topik Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan berdasarkan PP No. 28/1999 dan Perkom KPUU No. 1 Tahun 2009 dapat di download disini..........


Senin, 05 Oktober 2009

Penanaman Modal Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Penanaman Modal

Pasal 5 ayat (3) UU Penanaman Modal menentukan bahwa PMA atau PMDN yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dapat dilakukan dengan; [a] mengambil bagian saham pada saat pendirian PT, [b] membeli saham, dan [[c] melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan cara penanaman modal tersebut terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain seperti UU Perseroan Terbatas dan UU Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU Penanaman Modal juga memberikan 'kebebasan' untuk mengelola investasi yang dilakukan di Indonesia yaitu termasuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing (Pasal 8 ayat (3)). 

Download Bakul........................

NB:

Bagi Mahasiswa, berkaitan dengan bakul ini maka ada tugas yaitu pertama, pengertian joint venture, termasuk prinsip-prinsipnya dan kaitannya dengan UU Perseroan Terbatas. Kedua, bagaimana melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan berdasarkan PP No. 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2009. NIM genap untuk pertanyaan pertama, dan NIM ganjil untuk pertanyaan kedua.

Jawab dibuat di form komentar dibawah atau apabila terlalu panjang bisa via email.

Kamis, 01 Oktober 2009

UU Pengadilan Tipikor

UU Pengadilan Tipikor telah banyak menguras energi warga bangsa, karena atas undang-undang ini keberlanjutan eksistensi Pengadilan Tipikor dipertaruhkan. Tetapi dalam pembahasan substansinya, ada upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan usaha pemberantasan korupsi. Yaitu dengan pertama, mencoba mencabut kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK. Padahal dalam UU KPK sudah memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Kedua, keberadaan pengadilan tipikor. DPR akhirnya menyetujui pengadilan tipikor berada di Pengadilan Negeri. Artinya bahwa pengadilan tipikor akan ada disetiap kota/kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap yaitu pada awalnya di setiap ibukota Propinsi. Kemudian dalam kurun waktu 2 tahun setelah pengesahan UU Pengadilan Korupsi didirikan di setiap kota/kabupaten.

Ketiga, komposisi hakim pengadilan tipikor. Komposisi hakim inilah yang akan menentukan komitmen hakim dalam hal ini MA atau Ketua Pengadilan dalam pemberantasan korupsi. Karena komposisi hakim yang memeriksa perkara korupsi ditentukan oleh MA dan Ketua Pengadilan dengan prinsip hakim karier lebih mendominasi dibandingkan dengan hakim adhoc. Dengan demikian hakim adhoc akan menjadi 'kambing congek' dalam proses peradilan tipikor.

Keempat, dualisme penuntutan dan pertarungan eksistensi instansi lembaga pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa KPK bukan lembaga yang mendominasi penuntutan kasus tindak pidana korupsi, melainkan ada kejaksaan. Dengan adanya 'wadah' tunggal pengadilan tipikor dan adanya dua lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan maka akan terjadi pertarungan antara kedua lembaga tersebut. Dan dengan minimnya (prioritas) sumber daya yang dimiliki KPK baik ditingkat propinsi atau nanti di setiap kota/kabupaten maka akhirnya penuntutan kasus tipikor akan ditangani oleh kejaksaan. Kemungkinan ini didukung dengan kewenangan KPK untuk mensupervisi instansi yang mempunyai kewenangan untuk memberantas korupsi. Artinya dengan keterbatasan anggaran maka kinerja KPK di daerah akan terbatas dan membuka peluang penuntutan ditangani oleh kejaksaan.

Keempat hal tersebut yang menjadi focal point dari UU Pengadilan Tipikor. Untuk itu agar dapat mengetahui substansi UU Pengadilan TIpikor dan kesempatan melakukan kajian, maka dapat melihat UU Pengadilan Tipikor versi bahan untuk rapat paripurna tanggal 29 September 2009. Diharapkan dengan bahan tersebut dapat memberikan informasi yang masih terbatas mengenai substansi UU Pengadilan TIpikor.

Baca atau download UU Pengadilan Tipikor versi Rapat Paripurna

Minggu, 27 September 2009

Isu Hukum dalam Penelitian Hukum

Bertolak dari tujuan (utama) hukum yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan, maka dalam mengkontruksi isu hukum dalam penelitian hukum harus didasarkan pada tujuan hukum tersebut. Namun dalam aras faktual penegakan atau penerapan hukum terjadi kesenjangan atau ketegangan dengan ketertiban dan keadilan. Keadilan menurut Ulpianus, 'Justitia est contants et perpetua voluntas ius suum quique tribuendi – keadilan adalah kehendak yang tetap dan tidak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya. Ketegangan atau kesenjangan dalam mencapai keadilan ini sangat tergantung dari pemahaman (baca: penafsiran) masyarakat, khususnya lembaga penegak hukum terhadap peraturan-peraturan tertentu. 

Padahal penegakan hukum (baca: peraturan) dibutuhkan untuk menjaga terbentuknya kepastian hukum dalam masyarakat. Bahkan diaras faktual tersebut yaitu dalam penegakan hukum, sering terjadi pengesampingan tujuan hukum -keadilan - demi terciptanya ketertiban. Apeldoorn mengemukakan bahwa terdapat 2 aspek kepastian hukum, pertama, kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang kongkret. Kedua, kepastian hukum berarti perlindungan hukum (Peter Mahmud, 2005).

Penting dicatat disini bahwa pencapaian keadilan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku bukan keadilan di luar ketentuan hukum. Artinya ini mengandaikan bahwa peraturan atau ketentuan yang ada (hukum positif) memuat atau didalamnya terkandung keadilan. Juris praecepta sunt haec, honeste vivere, alterum non laedere, suum quiequie tribure  yaitu peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum adalah hidup yang patut tidak merugikan orang lain, memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Isu hukum dalam penelitian hukum akan berkisar pada upaya penyelesaian untuk meredakan ketegangan diantara tujuan hukum yang saling tarik menarik.

Download Bakul Isu Hukum............

Pengaruh Keberadaan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Investasi di Indonesia

Makalah ini didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh BKPM mengenai perkembangan realisasi investasi dalam kurun waktu 1990 – 31 Juli 2005. Dari data tersebut diketahui bahwa pertama, jumlah proyek PMDN berada di posisi tertinggi pasca orde baru adalah tahun 2000 dengan nilai proyek sebesar Rp. 22 milyar sejumlah 300 proyek. Kedua, jumlah proyek PMA mengalami posisi tertinggi pasca orde baru adalah tahun 2000 dengan nilai proyek sebesar US$ 9,8 juta sejumlah 638 proyek (lihat tabel 1 dan 2).

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya posisi tertinggi investasi pada tahun 2000 tersebut. Dimana salah satunya adalah eforia investasi sebagai pengaruh dari eforia politik pasca runtuhnya orde baru. Eforia investasi berkorelasi dengan jumlah investasi setelah tahun 2000 mengalami penurunan atau lebih rendah dibandingkan tahun 2000. Meskipun untuk PMDN jumlah proyek mengalami penurunan dibandingan sebelum orde baru. Sedangkan untuk PMA berbanding terbalik dengan PMDN dimana posisinya sangat dominan dalam investasi di Indonesia.

Sabtu, 26 September 2009

Karakter Penelitian Hukum

Bakul (bahan kuliah) Metode Penelitian Hukum FH UKSW pada kuliah tanggal 7 September 2009. 

MPH & Karakter Ilmu Hukum

Bakul (bahan kuliah) Metode Penelitian Hukum pada tanggal 31 Agustus 2009. 

Asas & Tujuan Penanaman Modal Menurut UU No. 25 Tahun 2007

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut dengan UU Penanaman Modal) menetapkan asas penanaman modal. Asas tersebut memedomani kaidah hukum yang tertuang dalam pasal-pasal dalam UU Penanaman Modal. Yang perlu diuji adalah apakah kaidah hukum tersebut sudah menjadi pengejawantahan dari asas-asas tersebut? Dimana asas (hukum) bersifat abstrak dan tidak mempunyai daya ikat bagi pemberlakuan (legal efficacy) dari suatu peraturan. Kaidah hukum-lah yang mempunyai kekuatan memaksa dan daya ikat untuk ditaati dan penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan.

Asas (hukum) penanaman modal ‘menginspirasi’ pembentukan pasal-pasal. Sehingga pasal-pasal tersebut dapat mencermikan keberadaan asas hukum yang bersifat abstrak-normatif. Adapun asas (hukum) penanaman modal yang terdapat dalam Pasal 3 adalah;

Kepastian hukum Penanaman modal diletakkan berdasarkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah
Keterbukaan Asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penanaman modal
Akuntabilitas Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlakuan yang sama dan Tidak membedakan asal negara Asas perlakukan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dg negara asing lainnya
Kebersamaan Asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-bersama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
Efisiensi berkeadilan Asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal yang mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing.
Berkelanjutan Asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.
Berwawasan lingkungan Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup
Kemandirian Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi
Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional

Kesepuluh asas tersebut yang dituangkan dalam pasal-pasal terkait untuk menjamin tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam UU Penanaman Modal. Yang perlu diperhatikan bahwa asas (hukum) penanaman modal tersebut mempertautkan dengan hukum atau undang-undang lain. Bahkan pertautan tidak saja dikonstruksi intra-bidang, melainkan juga antar-bidang seperti ekonomi, perdagangan internasional. Keterkaitan UU Penanaman Modal adalah dengan UU Lingkungan Hidup (asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan), UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (asas keterbukaan dan asas efisiensi keadilan), dan UU Usaha Kecil (asas kemandirian). Sedangkan antar-bidang ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, penanaman modal yang dilakukan di suatu negara dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Pertumbuhan ekonomi juga sekaligus menjadi tujuan penyelenggaraan penanaman modal. Pasal 3 ayat (2) UU Penanaman Modal menentukan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah;

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri;
h. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tujuan penanaman modal dijadikan ’mercusuar’ dalam kebijakan penanaman modal yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Teknis terkait dan Pemerintah Daerah. Tujuan dimaksud harus mampu mengarahkan kebijakan dasar penanaman modal yang diatur dalam Pasal 4 UU Penanaman Modal. Kebijakan dasar penanaman modal tersebut untuk [1] mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan [2] mempercepat peningkatan penanaman modal.
Kebijakan dasar penanaman modal menjadi tugas pemerintah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
a.Memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b.Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil menengah dan koperasi.

Jumat, 25 September 2009

Perppu Plt KPK: Menelikung UU KPK

Akhirnya Presiden SBY mengeluarkan Perppu Plt KPK. Sudah banyak pihak yang menganalisis mengenai ketepatan digunakannya Perppu dalam menyikapi kasus hukum yang melibatkan pimpinan KPK. Salah satu argumentasi yuridis yang digunakan adalah bahwa tidak terpenuhinya 'hal ihwal kegentingan yang bersifat memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Menurut Danang Kurniadipertama, prasyarat 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' belum terpenuhi karena meski KPK saat ini hanya dipimpin dua komisioner tak berarti lembaga tersebut tak dapat menjalankan fungsinya. Unsur kolegial sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) masih terpenuhi. 

Kedua, Perppu penunjukkan Plt pimpinan KPK terang menegasikan ketentuan dalam UU KPK yang mensyaratkan keikutsertaan DPR dalam penentuan pimpinan KPK. Dengan ditunjuk langsung maka hal itu juga akan mengganggu kemandirian KPK sebagai independence agencies. Ketiga, alasan Presiden yang lebih memilih menunjuk Plt dan mengesampingkan proses seleksi sebagaimana diamanatkan UU KPK terkesan terburu-buru dan sarat dengan muatan politis. Kecurigaan intervensi Presiden menjadi semakin tak bisa dielakkan.

Tulisan ini bermaksud mempertajam alasan yuridis ketiga yaitu bahwa penerbitan Perppu Plt pimpinan KPK mengesampingkan proses seleksi yang diamanatkan UU KPK. Dalam Pasal 33 UU KPK menyatakan bahwa 'dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia'. Dalam Pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan anggota KPK tunduk pada UU KPK. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa pertama, Pasal 33 ayat (1) UU KPK secara tegas mengatur mengenai mekanisme pengisian pimpinan KPK dalam hal terjadi kekosongan karena terjadi pemberhentian atau diberhentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU KPK. Terkait dengan kasus hukum yang menimpa pimpinan KPK saat ini maka alasan pemberhentiannya adalah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Kedua, penggunaan Perppu Plt oleh Presiden merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU KPK. Dalam ketentuan tersebut tidak dimungkinkan terjadinya penafsiran bahwa Presiden bisa menerbitkan Perppu untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dengan kata lain bahwa UU KPK tidak mengenal istilah Plt atau Pelaksana Tugas KPK, namun UU KPK menyatakan apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK maka Presiden mengajukan calon anggota pengganti ke DPR. Istilah kekosongan pimpinan KPK terjadi berkaitan dengan Pasal 32 UU KPK yang mengatur mengenai pemberhentian pimpinan KPK dengan persyaratan tertentu.

Kekosongan pimpinan KPK yang menjadi latar belakang terbitnya Perppu juga menjadi permasalahan hukum berkaitan dengan tingkat pemberhentian. Pasal 32 UU KPK mengatur tingkat pemberhentian karena melakukan tindak kejahatan yaitu terdakwa dan tersangka. Pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannyanya. Ini berbeda apabila pimpinan KPK menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan (Pasal 32 ayat (1) angka 3 UU KPK) akan diberhentikan secara tetap. Padahal dalam kasus hukum yang melibatkan 3 (tiga) pimpinan KPK berada pada tingkat tersangka, karena masih ditangani oleh POLRI dan baru akan dilimpahkan ke Kejaksaan.

Apakah dengan demikian terjadi ketergesaan yuridis yang dilakukan oleh Presiden dalam menerbitkan Perppu? Dimana kekosongan pimpinan KPK akibat tersangkut tindak pidana kejahatan baru berada pada status tersangka. Dan penerbitan Perppu tersebut menjadi bentuk pelanggaran hukum dengan hukum, artinya bahwa UU KPK sudah mengatur mengenai mekanisme dalam hal terjadinya kekosongan pimpinan KPK tetapi oleh Presiden dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu. Dan 'keterbatasan' UU KPK dalam hal terjadi kekosongan hukum yang 'diterobos' dengan Perppu No. 4/2009. Terobosan tersebut dilakukan dengan mengubah secara khusus Pasal 33 UU KPK yaitu menambah Pasal 33A dan 33B.

Dalam Pasal 33A Perppu No. 4/2009 menyatakan bahwa apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK yang mengakibatkan jumlah pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang maka Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK. Ketentuan dalam Perppu inilah yang menelikung UU KPK, yaitu mengebiri peran publik melalui DPR dalam proses seleksi pimpinan KPK. Kembali kepada alasan penerbitan Perppu yaitu adanya ihwal kegentingan yang memaksa, maka ratio decidendi dari Presiden untuk mengeluarkan Perppu dapat dilihat di bagian menimbang.

Pertama, pemikiran Presiden potensi munculnya ketidakpastian hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi akibat terjadinya kekosongan anggota pimpinan KPK. Terminologi ketidakpastian hukum ini membutuhkan penjelasan atau penafsiran, karena apakah memang kekosongan pimpinan KPK dapat melahirkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum merupakan negasi dari kepastian hukum yang menurut Van Apeldoorn dimaknai mempunyai 2 (dua) aspek yaitu [1] kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang kongkret; [2] kepastian hukum berarti perlindungan hukum. ertolak dari pengertian kepastian hukum tersebut maka UU Pemberantasan Tipikor sudah membuktikan mampu membangung kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, dengan Perppu Presiden menginginkan percepatan pengisian kekosongan anggota KPK. Keinginan Presiden inilah yang perlu diuji dengan alasan konstitusional yaitu ihwal kegentingan memaksa. Pengujian terhadap keinginan Presiden yang tertuang dalam pertimbangan Perppu perlu dikaitkan dengan kepastian hukum dan percepatan seleksi anggota KPK.

Presiden menelikung UU KPK khususnya Pasal 33 yang dengan jelas memuat mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK. Dengan demikian DPR harus bisa membatalkan Perppu tersebut dengan mengembalikan mekanisme pengisian kekosongan KPK berdasarkan UU KPK. Langkah Presiden ini layak dicermati dalam hal pertama, sebagai bentuk penafsiran terhadap UU KPK. Kedua, menjadi upaya untuk mendelegitimasi UU KPK. Pertanyaannya adalah mengapa Presiden tidak mengindahkan Pasal 33 UU KPK? Apakah Presiden mempunyai keinginan untuk 'mengarahkan' pemberantasan korupsi oleh KPK?



Kamis, 17 September 2009

Tujuan Hukum: Refleksi Atas Hukum

Menurut teoritisi hukum, tujuan hukum ada tiga yaitu menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Tujuan hukum ini sebenarnya merefleksi hakekat hukum itu sendiri, dimana keberadaannya diarahkan untuk menciptakan dan menjaga kondisi masyarakat yang berdasarkan pada cita awal keberadaan masyarakat. Artinya tujuan hukum merupakan tujuan masyarakat, dan pencapaiannya akan beriring dengan terwujudnya tujuan masyarakat.

Tujuan hukum mungkin sesuatu yang utopis, nyaris sulit diwujudkan meski tetap bisa dilakukan. Pencapaian tujuan hukum dapat dilakukan dengan penetapan 'mekanisme' dan 'kondisi' tertentu, sehingga suatu keadaan bisa dinyatakan sebagai terwujudnya tujuan hukum. Kepastian pencapaian tujuan hukumpun menjadi sesuatu yang sebenarnya opsional, artinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum tidak bisa dilakukan secara simultan. Padahal tujuan hukum tersebut menjadi 'trilogi' tujuan yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan atau dipilah menurut prioritas tertentu.

Pencapaian yang cenderung terbelah diantara ketiganya mendorong munculnya distorsi terhadap keberadaan hukum. Distorsi dimaksud adalah munculnya pandangan bahwa hukum menjadi tujuan. Hukum merupakan tujuan dari masyarakat tidak sekedar mereduksi hakekat hukum tetapi juga mendegradasi keberadaan masyarakakat. 'Jebakan' dari distorsi ini menjadi bagian dari pemahaman yang keliru terhadap adagium hukum, 'ibi ius ubi societas' yaitu dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Adagium tersebut menempatkan hukum sebagai resultan dari proses bermasyarakat, tetapi bukan menjadi kesadaran untuk meletakkan dasar keberadaan masyarakat adalah menciptakan hukum.

Distorsi hukum inilah yang terjadi di bumi pertiwi ini, sebagaimana ditampilkan oleh pembentuk undang-undang di akhir masa periodenya. 1 bulan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR terdapat beberapa RUU yang dibahas dan sebagaian sudah disahkan menjadi undang-undang. Dalil yang dapat dikemukakan oleh wakil rakyat adalah waktu sebagai legislatif tersita dalam hajatan demokrasi seperti pemilu legislatif dan pemilu pemilihan presiden. Namun pemilu tidak bisa dijadikan dasar argumentasi untuk membela diri mengapa menjelang berarkhirnya masa jabatan banyak RUU yang dibahas dan diundangkan?

Namun dalam note ini akan difokuskan mengapa begitu banyak undang-undang yang dihasilkan tidak berkorelasi dengan tingkat penegakan hukum yang mengarah pada tercapainya tujuan hukum. Berkaitan dengan paparan di paragraf awal note ini, bahwa hukum dibuat mempunyai 'trilogi tujuan' sehingga penegakan hukum diarahkan untuk mencapai trilogi tujuan. Sayangnya, penegakan hukum lebih menghamba kepada undang-undang daripada kepada hukum dengan kemuliaan tujuannya. Penghambaan kepada undang-undang inilah yang banyak melahirkan distorsi atau korupsi penegakan hukum. Undang-undang sebagai salah satu bentuk hukum harus dikembalikan kepada tujuan hukum, yaitu keberadaanya harus mampu mewujudkan tujuan hukum.

Hukum yang dipahami sebagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan sebenarnya hanya sebagian dari wujud hukum. Hukum yang demikian tetap merupakan hukum, tetapi masih ada wujud lain hukum yaitu sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai keadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005). Jus est ars boni et aequi – law is the science of what is good and just – hukum yang sebenarnya adalah hukum yang substansinya berkaitan dengan keadilan. Cicero-pun mengatakan bahwa justice inheres in the very definition of law (A Dictionary of The Social Science, 1969: 378].

Keadilan seharusnya terkandung dalam hukum untuk mendorong terciptanya ketertiban dan kepastian hukum. Dalam penerapannya, sering terjadi ketegangan dalam usaha untuk mencapai trilogi tujuan hukum. Ketegangan ini seolah-olah mengabadikan pengesampingan 2 (dua) dari trilogi tujuan hukum, ketika hendak mewujudkan salah satu dari triloginya.

Dipengaruhi oleh sistem hukum kontinental dan perkembangan mashab sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound, Indonesia memberhalakan penciptaan hukum dalam bentuknya peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang). Seperti terjadi pada bulan September 2009, DPR sebagai salah satu aktor pembentuk hukum melakukan kejar target pembahasan dan pengesahan undang-undang. Yaitu UU Perfilman, UU Lingkungan Hidup, dan 3 (tiga) RUU yang mengundang kontroversi di masyarakat, RUU Pengadilan Tipikor, RUU Jaminan Produk Halal dan RUU Rahasia Negara. RUU terakhir di tarik kembali oleh Pemerintah sebagaimana diungkapkan oleh Menhan RI.

Pencapaian trilogi tujuan hukum dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia berawal dari pembentukan hukum (baca: undang-undang) di DPR. Bagaimana secara filosofis, sosiologis dan yuridis, UU yang akan dibentuk harus diarahkan pada pencapaian trilogi tujuan hukum. Penyimpangan dalam proses penciptaan trilogi tujuan hukum tidak hanya terjadi pada aras penegakan hukum, melainkan juga pada saat proses pembentukan hukum (baca: undang-undang).

Sebagaimana nampak dari proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, DPR mengingkari putusan MK yang hanya menyatakan bahwa pengadilan tipikor yang saat ini ada tidak mempunyai dasar hukum seperti jenis pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Tetapi DPR dengan hak yang dimilikinya, DPR dalam membahas RUU tersebut melampaui putusan MK yaitu bermaksud mengebiri kewenangan KPK dalam bidang penuntutan. Hukum yang demikian apabila nantinya disahkan akan mendorong pendistorsian trilogi tujuan hukum.

Substansi maupun mekanisme penegakan hukum yang hendak didesain akan melahirkan negasi trilogi tujuan hukum. Keberhasilan KPK dengan dinamikanya mengembalikan keyakinan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi dan mencoba meraih mimpi Indonesia tanpa korupsi. Hukum (baca: undang-undang) yang mendistorsi trilogi tujuan hukum hanya akan sekedar menjadi alat kekuasaan dan menjauhkan dari dari nilai-nilai yang bersifat preskriptif. Nilai-nilai tersebut hadir dalam asas dan norma yang mengatur kaedah berperilaku sebelum adanya hukum (formal) mengatur hubungan-hubungan antar individu dalam masyarakat.

Distorsi trilogi tujuan hukum terjadi juga pada pembahasan RUU Jaminan Produk Halal yang cenderung menghamba pada keyakinan tertentu dan mengesampingkan nilai-nilai universal yang dijadikan dasar bagi pembentukan NKRI. Dengan maksud yang sama-sama terpuji yaitu melindungi konsumen dari itikad tidak baik dalam memproduksi makanan dan minimum, RUU Jaminan Produk Halal menjadi RUU Keselamatan dan Keamanan Produk. Artinya nilai-nilai pluralisme yang sudah hidup bahkan sebelum Indonesia lahir dicoba untuk diingkari oleh DPR.

Hukum dengan distorsi trilogi tujuan hukum berpotensi meniadakan nilai-nilai yang mewujud dalam norma dan asas. Dimana nilai-nilia tersebut sudah lama hidup dan diakui oleh bangsa Indonesia, dan DPR mencoba mengingkari keberadaanya dengan mencangkokkan nilai-nilai lain yang dapat mengganggu keharmonisan nilai yang selama ini dianut.Padahal hukum seharusnya mencipta yaitu mencipta keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, kalaupun meniadakan maka yang hendak ditiadakan adalah ketidakadilan, ketidaktertiban dan ketidakkepastian hukum.

Bertolak dari gagasan diatas maka sekedar mengingat bahwa ada adagium, legislatorum est viva vox, rebus et non verbis legem imponere (the voice of legislators is living voice, to impose laws on things, and not words). Dalam konteks Indonesia kekinian maka DPR dalam membentuk hukum (baca: undang-undang) harus menyadari bahwa dirinya adalah suara yang hidup, suara yang mewakili rakyat bukan dirinya sendiri atau partainya sendiri. Dengan menghidupkan suara rakyat dalam pasal di undang-undang maka tidak menjadi huruf yang mati tetapi mampu menggerakkan dan mengarahkan penegakan hukum ke terciptanya trilogi tujuan hukum.

Selasa, 15 September 2009

Konspirasi & Legalisasi Korupsi

Korupsi sama dengan mencuri, tetapi terkadang kita lupa bahwa itu pencurian. Niat untuk memberantas menggema dalam sanubari pemilik kekuasaan. Tapi daya tidak selaras dengan cita. Bahkan ketika 'ciptaan' sudah mampu menunjukkan karya hendak dikebiri. Berbagai konspirasi mencoba menghadang cipta-kpk agar berhenti dari kemampuan menerobos, menelisik berbagai aneka korupsi dalam ruang gelap.

Konspirasi mengepung dari semua arah, melawan dengan gagah namun tak kasat mata tetapi mengarah pada pemberangusan cipta-kpk. Cipta-legis, cipta-polis dan cipta-eksekutif baik presi dan jaksi mencoba memberangus dengan dalih mengungkap pembunuhan. Padahal cipta-polis dan cipta-jaksi kalah garang dalam mencokok koruptor, karena mereka bagian dari jejaring korupsi.

Pencurian sebagai street crime dipandang sebagai kejahatan kelas teri yang patut dihajar dengan palu hukum. Tetapi korupsi pada hakekatnya juga street crime dengan kondisi jalanan yang terbuat dari marmer. Konspirasi untuk membunuh cipta-kpk juga terjadi ketika cipta-legis berlama-lama dengan dasar hukum sang pengadil. Padahal kelahiran sang pengadil berkejaran dengan durasi jabatan cipta-legis yang tinggal menunggu habis.

Bahkan konon cerita. cipta-presi marah ketika besan masuk bui menanggung malu karena korupsi yang dilakukan ketika bekerja di BI. Sehingga menyampaikan kegeraman dalam bahasa yang santun tetapi menghujam, bahwa cipta-kpk lembaga yang tiada mengontrol dan hanya bertanggung jawab kepada sang Khalik. Tetralogi konspirasi sedang mengepung cipta-kpk, hendakkah kesadaran pemberantasan korupsi memudar tanpa dukungan kuat political will sang penguasa. Bahkan seorang petinggi cipta-polis mengatakan, cicak mau melawan buaya. Bagi cipta-polis, cipta-kpk hanya seekor cicak yang hanya mampu menangkap nyamuk.

Ketika tetralogi konspirasi menghadang, keinginan bumi hangus korupsi akan sangat tergantung dari kemauan masyarakat untuk andil dalam pembumi hangusan. Tetapi kultur dan habitus publik tidak menampakkan dirinya anti korupsi. Publik bahkan cenderung permisif terhadap mereka yang sedang atau telah melakukan pencurian uang publik. Mereka memuja, menempatkan pada etalase sosial dengan gemerlap sanjungan.

Seorang cendekia pernah berujar bahwa korupsi sudah membudaya. Pada waktu itu banyak cendekia yang lain menolak bahwa kita bangsa dengan budaya adiluhung tidak mempunyai budaya korupsi. Tetapi saat ini Indonesia selalu menduduki peringkat tertinggi dalam korupsi meski belum juara utama. Sehingga benak bertanya, adakah jalan untuk bergaul dan bergumul dengan korupsi untuk mendorong kemaslahatan publik?

Tanya itu bukan bermaksud melegitimasi korupsi, namun mengibaratkan pelacuran yang meski secara hukum, moral dan budaya dilarang atau dianggap tidak etis tetapi tetap eksis. Bahkan penolakan malah mencipta watak hipokrisi publik, yang sadar terhadap pelanggaran tetapi membiarkan pelacuran ada dengan berbagai derivasi seperti perselingkuhan.

Mungkinkah korupsi dilegalilasi? Pertanyaan ini sebagai hasil pergumulan dengan kesulitan untuk memberantasnya. Bahkan berteriak anti korupsipun dianggap sebagai gila karena melawan arus utama pandangan masyarakat. Kemudian muncul tanya, bagaimana cara melegalisasi korupsi kalo korupsi terjadi di ruang gelap nir moral.

RUU Jaminan Produk Halal: Substansi-Ideologi-Hukum vs NKRI & Pancasila

Notes ini mempunyai dua arti penting yaitu [1] melanjutkan apa yang sudah diprakarsai oleh sdr Ferdinand Umbu dan [2] keberlanjutan tersebut dilakukan dengan mencoba mengelaborasi lebih lanjut mengenai isu-isu (hukum & politik) dari RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Elaborasi dimaksud mencoba menukik pada substansi, kemudian melakukan kajian terhadap substansi terkait dengan isu-isu yang mungkin menyertai proses kelahiran RUU JPH. Untuk itu sebelumnya saya mengapresiasi lontaran diskusi via note yang dilakukan sdr. Ferdinand Umbu.

RUU JPH terdiri dari 44 Pasal, 12 Bab yaitu antara lain Tugas dan Wewenang; Bahan Baku dan Proses Produk Halal; Tata Cara Memperoleh JHP; Auditor Halal; Kerjasama; Pengawasan; Sanksi Administrasi; Penyidikan. Ketentuan krusial yang menimbulkan perdebatan bagi warga bangsa dan layak dilakukan diskusi untuk memperdalam substansi antara lain, PERTAMA, bagian menimbang yang memuat ide-ide pertimbangan, latar belakang akan diaturnya JPH. Dalam bagian tersebut memuat [1] kewajiban negara untuk melindungi SEGENAP bangsa Indonesia dan SELURUH tumpah darah Indonesia; [2] jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; [3] kemerdekaan beribadat dalam RUU ini dimaksud adalah negara wajib menjamin kehalalan makanan dan minuman; [3] sebaran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehalalan produk belum memberikan kepastian hukum atas tersedianya produk halal bagi masyarakat.

Dari pertimbangan tersebut memuat dengan tegas Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan HAM yang terdapat dalam konstitusi. Sehingga dalam konteks ini terjadi contradiction in terminis antara pertimbangan dengan substansi yang hendak diatur. Artinya bahwa perlindungan untuk SEGENAP dan SELURUH WNI akan menjadi potensi diskriminasi apabila substansi-nya yang mengatur mengenai hal-hal yang terkait dengan keyakinan tertentunya. Tentunya bukan tanpa niat baik pengaturan produk halal tersebut yaitu bahwa ada jaminan kesehatan bagi produk makanan/minuman yang dikonsumsi masyarakat. Tetapi apabila dasarnya bukan prinsip-prinsip universal atau adopsi dari keyakinan tertentu berpotensi menimbulkan diskriminasi maka undang-undang yang akan dihasilkan diragukan validitas dan efficacy-nya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahwa adopsi dari prinsip atau keyakinan tertentu tidak menjadi masalah, namun harus didasarkan pada semangat nasionalisme yaitu NKRI. Undang-undang akan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak bisa dibeda-bedakan pemberlakuannya. Sehingga adopsi prinsip dilakukan atas prinsip yang dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa. Atau mengarahkan semangat untuk menjamin kehalalan produk dalam konteks melindungi konsumen Indonesia. Artinya kehalalan produk diarahkan pada ketersediaan jaminan keamanan dan kesehatan bagi konsumen atau masyarakat yang mengkonsumsi makanan atau minuman.

KEDUA, definisi produk halal. Produk halal adalh makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, produk rekayasa genetika yang tersusun dari unsur halal untuk dimakan, diminum atau digunakan yang telah melalui proses produk halal sesuai dengan syariah. Definisi ini tidak ada masalah kecuali frasa '.........sesuai dengan syariah'. Dengan prinsip hukum bahwa peraturan perundang-undangan berlaku untuk seluruh WNI maka frasa tersebut akan berpotensi mendikotomi warga bangsa. Dikotomi inilah yang dapat melahirkan diskriminasi baik dari aspek substansi maupun penerapannya ketika menjadi undang-undang. Untuk RUU JPH ini harusnya diarahkan pada semangat nasionalisme NKRI yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia. Diarahkannya semangat ke nasionalisme NKRI adalah dengan membuat dasar pembuatan RUU JPH ini ke aspek-aspek universal yaitu keamanan dan kesehatan produk makanan dan minuman.

KETIGA, berkaitan dengan tugas dan wewenang. Dalam hal ini saya hanya mengutip pendapat anggota DPR yang melakukan talk show di AN TV tanggal 7 September 2009, bahwa pendelegasian wewenang untuk melakukan pemeriksaan seharusnya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk oleh undang-undang. Inipun dapat disiasati dengan pengajuan RUU tentang MUI untuk mengakomodasi prinsip hukum tersebut. Tetapi demi menjaga persatuan dan kesatuan NKRI maka diarahkan ke lembaga profesional (bukan keagamaan) yang berwenang melakukan sertifikasi keamanan dan keselamatan pangan di Indonesia.

KEEMPAT, proses produk halal. Proses inilah yang kembali menegaskan kembali potensi keterbelahan dalam pembentukan dan penerapan undang-undang. Dalam salah satu pasalnya diatur bahwa bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal 'bismillahirahmanirrahim' dan tuntunan penyembelihan sesuai dengan syariah. Ini kembali terjadi pertentangan mengenai bagian pertimbangan yang bermaksud melindung SEGENAP & SELURUH bangsa Indonesia tetapi mempunyai potensi mendiskriminasi dan memaksakan kehendak. Idealnya proses produk halal didasarkan pada kaedah-kaedah kesehatan bukan berdasarkan kaedah agama atau syariah agama tertentu.

Itulah empat hal yang krusial untuk didiskusikan oleh civil society terkait dengan RUU yang mempunyai potensi memecah belah dan pemaksaan kehendak bagi warga bangsa tertentu. Untuk disarankan agar RUU ini diarahkan ke semangat nasionalisme NKRI yaitu pengaturan jaminan keamanan dan keselamatan produk.

Sekali lagi ini tidak bermaksud mendiskreditkan kelompok atau keyakinan tertentu, tetapi sebagai bentuk diseminasi terhadap ketentuan yang akan mengatur dan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu seyogyanya, peraturan perundang-undangan dapat menerapkan asas dan prinsip yang dapat diterima SEGENAP & SELURUH warga bangsa. Karena watak keberlakuan dari undang-undang bagi semua WNI. Dan note ini menjadi pembuka diskusi dengan semangat demokrasi dan kebangsaan.

Selamat berdiskusi.

Rabu, 02 September 2009

Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional

Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional*

Yakub Adi Krisanto

 

Pendahuluan

Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak dapat menghindarkan diri dari interaksi perdagangan internasional. Pertukaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional melampau batas wilayah negara. Perdagangan internasional mencerminkan gross domestic product (GDP) atau gross domestic income (GDI), yaitu pengukuran dasar dari kondisi ekonomi suatu negara dan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang dibuat di negara tersebut.[1] GDP berkaitan dengan pengukuran fundamental dari produksi dan standar kehidupan.

Perdagangan internasional menjadi sumber utama dari pendapatan ekonomi suatu negara. Karena tanpa perdagangan internasional, suatu negara akan terbatasi dalam wilayahnya sendiri ketika memproduksi barang dan jasa. Dalam hal demikian, suatu negara tidak akan mempunyai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sendiri atau mencukupi kebutuhan barang dan jasa dari produksi yang dilakukan di dalam negeri. Ketidak mampuan memproduksi barang dan jasa sendiri dipengaruhi oleh ketersedian sumber daya seperti tenaga kerja, modal dan bahan baku.

Perdagangan internasional dan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara meniscayakan terjadi pertukaran sumber daya antar negara. Dimana suatu negara untuk bersaing dalam perdagangan internasional membutuhkan kemampuan meningkatkan daya saing barang dan jasa dengan melakukan efisiensi produksi. Efisiensi produksi tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, pertama, menciptakan iklim usaha yang bersaing, kedua, membangun suatu pemerintahan yang kuat dan ketiga, memberikan dorongan serta akses terhadap keterampilan, teknologi dan pasar asing.[2]

Pertukaran sumber daya antar negara mengakibatkan terjadi masuknya sumber daya dari luar negara ke negara tertentu. Masuknya sumber daya tersebut dapat dimaknai dalam 2 (dua) aspek yaitu pertama, sebagai bagian dari perdagangan internasional, dimana pemilik modal mencari lokas usaha untuk meningkatkan added value dari modal yang dimiliki dan kedua, peningkatan kapasitas produksi dalam negeri yang memiliki keterbatasan sumber daya tertentu. Meskipun suatu negara mempunyai sumber daya yang berlimpah seperti sumber daya alam tetapi kebutuhan atas sumber daya untuk mendukung penciptaan added value dari sumber daya alam tetap dibutuhkan.

 

Liberalisasi Perdagangan & Investasi

Dengan adanya rejim perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan maka tukar menukar sumber daya antar negara mengalami peningkatan. Pengaruh globalisasi mengintegrasikan perdagangan antar negara, dimana melahirkan perdagangan bebas yang menuntut setiap negara membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan karakteristik perdagangan bebas. Karakteristik perdagangan bebas adalah kebebasan melakukan perdagangan termasuk investasi untuk memproduksi barang atau jasa. Kebebasan berusaha membentuk iklim usaha yang mendorong persaingan usaha yang sehat. Salah satu manifestasi iklim usaha adalah akses pasar bagi para pemilik modal untuk melakukan kegiatan produksi.

Iklim usaha tersebut meliputi namun tidak terbatas pada ketersediaan fasilitas transportasi, kemudahan melakukan usaha, akses kredit ke lembaga perbankan, jaminan keamanan, pajak, perlindungan hukum dan ketersediaan pasokan bahan baku. Dalam hal ini upah buruh murah tidak termasuk dalam iklim usaha karena pemerintah harus belajar bahwa upah buruh tidak lagi menjadi daya tarik investasi. Tetapi ketersediaan tenaga kerja dapat menjamin keberlangsungan kegiatan usaha yang didukung dengan perlindungan hukum ketenagakerjaan.

Daya tarik suatu negara dalam memperoleh investasi adalah kemampuan menunjukkan iklim investasi yang baik. Bahwa yang dimaksud dengan iklim investasi yang baik apabila pemerintah memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha.[3] Usaha untuk menciptakan iklim investasi yang baik sebagai bagian dari daya tarik suatu negara menjadi pertimbangan pembaruan dan pembentukan UU Penananam Modal. Pun demikian yang terjadi di Indonesia, dimana kesadaran mengenai arti penting iklim investasi yang baik tertuang dalam bagian d UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.

Adaptasi terhadap situasi global dan kesadaran mengenai arti penting penanaman modal (investasi) bagi perekonomian Indonesia telah mendorong untuk memperbaiki sistem hukum mengenai penanaman modal. Kesadaran tersebut terbangun dari perubahan perekomian global dengan globalisasi yang melahirkan liberalisasi perdagangan. Dimana aliran modal (capital inflow) menjadi sangat fleksibel untuk keluar-masuk dari dan ke suatu negara tertentu. Fleksibilitas aliran modal inilah yang harus dikelola agar tetap berada dalam suatu negara. Keberadaan modal dalam suatu negara berpengaruh terhadap kondisi perekomian, dimana penarikan modal (capital flight) memiliki contagion effect yaitu rendahnya tingkat kepercayaan internasional terhadap suatu negara.

Kesadaran akan arti penting penanaman modal juga dimiliki oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.[4]

Bahwa tujuan penanaman modal hanya dapat dicapai ketika iklim investasi dapat mengakomodasi kepentingan pemilik modal dan menjaga kepentingan nasional yaitu menciptakan lapangan kerja. Penciptaan iklim investasi yang menarik minta investor harus dilakukan dengan melakukan pembaruan terhadap pemberian ijin dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam pelaksanaan investasi. Dalam konteks inilah hukum penanaman modal menjadi penting khususnya pertama, mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap ketertarikan pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua, ketertarikan tersebut tidak hanya didasarkan ketersedian sumber daya alam atau tenaga kerja melainkan juga pembaruan terhadap kepastian hukum kegiatan berinvestasi. Ketiga, pembaruan hukum dilakukan untuk mendorong reformasi perijinan dalam berinvestasi dan jaminan keberlangsungan usaha.

Reformasi birokrasi dalam memangkas ekonomi biaya tinggi inilah yang menjadi salah satu titik tolak pengaturan dalam UU Penanaman Modal yaitu,

1.   mendorong koordinasi antar instansi dalam promosi dan pelayanan penanaman modal;

2.   koordinasi berkaitan dengan kecepatan pemberian ijin dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing;

3.   pelayanan perijinan terpadu satu pintu (one stop service);

 



* Makalah disampaikan sebagai materi perdana Hukum Investasi pada MK Hukum Korporasi pada tanggal 1 September 2009 di FH UKSW.

[2] Zukalnain Sitompul, Investasi Asing di Indonesia: Memetik Manfaat Liberalisasi, www.legalitas.org

[3] Ibid.

[4] Penjelasan Umum UU Penanaman Modal.

Senin, 10 Agustus 2009

Afirmasi Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi

Afirmasi Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi

Yakub Adi Krisanto*

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 telah melahirkan perdebatan di kalangan aparat penegak hukum dan aktivis anti-korupsi. Bagi Jaksa Agung mengacu pada waktu putusan tersebut dibacakan menjadi hari besar bagi koruptor. Banyak pihak juga menilai bahwa pasca putusan MK akan kesulitan untuk menjerat koruptor karena perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi putusan MK harus dilihat secara objektif-rasional khususnya dalam praktek penegakan hukum (das sein).

Dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi telah terjadi beberapa praktek hukum yang lebih mendasarkan diri pada pemenuhan perbuatan melawan hukum formil. Pertama, aparat penegak hukum terbelenggu oleh ketentuan yuridis-formal dalam hal pengajuan ijin pemeriksaan pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan yuridis-formal didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur bahwa untuk pemeriksaan kepala daerah/wakil kepala daerah harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis harus diperoleh dari Mendagri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Propinsi dan Gubernur atas nama Mendagri untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, dalam hal untuk mendapatkan bukti adanya kerugian keuangan negara aparat penegak hukum mendasarkan diri pada hasil audit yang dilakukan oleh BPKP. Audit BPKP dalam praktek penyidikan sering menghambat proses penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi atau jaksa. Hambatan dimaksud bahwa proses audit memperpanjang rantai penegakan hukum, karena bagi aparat penegak hukum audit BPKP menjadi sebuah kemutlakan. Kemutlakan ini berarti bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi harus disertai dengan audit BPKP dan aparat penegak hukum tidak berani melakukan penilaian atas inisiatif sendiri untuk menentukan adanya kerugian negara.

Penilaian sendiri adanya kerugian negara selain akan menggunakan analisis perbuatan melawan hukum formil, kemungkinannya adalah melakukan kajian terhadap unsur-unsur tindak pidana korupsi dari perspektif perbuatan melawan hukum materiil. Tetapi aparat penegak hukum tidak cukup percaya diri dalam melaksanakan kajian terhadap perbuatan melawan hukum materiil. Dan ketidakpercayaan diri tersebut tidak datang dari tubuh kepolisian atau kejaksaan tetapi dari bagian lain dari aparat penegak hukum yaitu hakim. Hakim dalam memeriksa suatu tindak pidana korupsi lebih mengandalkan atau mengacu pada bukti formil dengan konsekuensi akan menggunakan perspekti dari perbuatan melawan hukum formil.

Ketiga, pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi di pengadilan oleh hukum lebih memprioritaskan pada pemenuhan perbuatan melawan hukum formil. Hakim cenderung untuk melihat apakah suatu perbuatan terdakwa telah memenuhi perbuatan hukum formil dari pada perbuatan melawan hukum materiil. Kecenderungan tersebut adalah mengandalkan pembuktian kerugian keuangan negara pada hasil audit BPKP atau hakim akan meminta hasil audit dari badan pengawas keuangan pemerintah. Atau hakim akan memeriksa suatu tindakan yang dituduhkan sebagai korupsi dilakukan dengan menyimpang atau menyalahi prosedur/ketentuan yang berlaku.

Penilaian terhadap suatu perbuatan apakah sudah sesuai dengan prosedur atau tidak menjadi salah satu bentuk untuk mencari perbuatan melawan hukum formil. Keempat, putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi cenderung mengedepankan perbuatan melawan hukum formil. Hakim jarang menggunakan pertimbangan hukum (legal reasoning) dalam putusan dengan analisis perbuatan melawan hukum materiil. Perbuatan melawan hukum materiil digunakan sebagai unsur pemberat dalam penjatuhan pidana, misalnya bahwa terdakwa adalah pejabat negara yang seharusnya memberik teladan atau koruptor belum pernah dipidana.

Dari keempat hal tersebut maka bahwa aparat penegak hukum dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi lebih memfokuskan pada aspek formil dari suatu tindak pidana. Penulis mempunyai pengalaman pada saat kepolisian mengusut kasus korupsi buku maka diusulkan untuk melihat kerugian negara dari aspek materiil yaitu tidak digunakannya buku oleh sekolah sudah merupakan bentuk kerugian negara. Atau bahwa ketika terjadi selisih kurang dari jumlah antara buku yang secara faktual sudah diterima/digunakan oleh sekolah dengan pengadaan buku yang ditentukan pada kontrak pengadaan maka sudah dapat diklasifikasikan sebagai kerugian negara. Namun usul tersebut ditolak dan kepolisian akan terlebih dahulu berkonsultasi dengan BPKP sebelum ditetapkannya tersangka pada kasus korupsi buku tersebut.

Praktek penegakan hukum demikian menjadi gejala umum dari upaya pemberantasan korupsi. Dan gejala umum tersebut semakin menegaskan aspek formil dari penegakan hukum. Untuk itu pertanyaanya apakah putusan MK tersebut bertentangan dengan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang selama ini dipraktekkan? Ataukah putusan tersebut akan menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Putusan MK menjadi afirmasi penegakan hukum dan tulisan ini merupakan sindiran bagi Jaksa Agung bahwa aparat kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi lebih mengandalkan pencarian bukti formil dan tidak berani mengungkapkan bukti materiil dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh koruptor.

Aparat penegak hukum harus berefleksi terhadap putusan MK tersebut.  Putusan MK akan mudah distigmatisasi sebagai pendukung aliran legalistik. Tetapi putusan MK lebih mengacu pada kepastian hukum yang adil dengan asumsi bahwa pertama, hukum diadakan harus dapat menjamin kehakekatannya yaitu menciptakan keadilan dan kepastian. Hukum harus mengandung keadilan dan kepastian, sehingga apabila tidak terkandung keadilan dan kepastian maka tidak dapat dikatakan sebagai hukum. Inilah yang menjadi titik tolak pandangan MK bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tidak dapat menjadi kepastian hukum' yang adil.

Adanya hubungan kata ‘dapat’ dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan keuangan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Untuk itu unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara harus dapat dibuktikan dan dihitung termasuk didalamnya masih merupakan perkiraan atau belum terjadi. MK menghendaki bahwa kerugian keuangan negara harus ditempatkan sebagai delik formil dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi. Berbeda halnya apabila sebagai delik materiil maka kerugian keuangan negara menjadi akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan harus telah terjadi.

Dalam pandangan MK (kerugian keuangan negara sebagai delik formil) tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Sehingga MK hanya merekonstruksi kembali penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK bahwa frasa ‘dapat merugikan keuangan negara’ yang menjadi akibat dari suatu perbuatan tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Bahkan apabila kerugian negara tidak dapat dibuktikan secara akurat dalam hal jumlah kerugian negara dipandang cukup untuk menuntut atau memidana pelaku sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti.

Pandangan MK ini menjadi terobosan hukum pada beban pembuktian tindak pidana korupsi. Dimana terpenuhinya salah satu unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi telah dapat digunakan untuk melakukan pemidanaan. Terobosan hukum ini akan mendorong penegakan hukum bagi para koruptor yang didasarkan pada perbuatan hukum formil. Kedua, bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK diluar yang ditafsirkan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 karena tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki MK maka pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi ruang lingkup kewenangannya.

Aparat penegak hukum tidak perlu berapriori terhadap putusan MK karena putusan tersebut hanya merupakan penegasan dari praktek penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan pada upaya pemberantasan korupsi. Sehingga putusan MK menjadi penguat untuk menyakinkan langkah-langkah hukum yang sudah ditempuh dalam pemberantasan korupsi. Tetapi perlu diingat bahwa putusan MK memberikan suatu terobosan hukum khususnya bagi hakim yang mengadili kasus tindak pidana korupsi. Dimana bahwa terpenuhinya unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sudah cukup untuk melakukan pemidanaan koruptor.



* penulis adalah pengajar Fakultas Hukum UKSW Salatiga.