Minggu, 27 September 2009

Isu Hukum dalam Penelitian Hukum

Bertolak dari tujuan (utama) hukum yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan, maka dalam mengkontruksi isu hukum dalam penelitian hukum harus didasarkan pada tujuan hukum tersebut. Namun dalam aras faktual penegakan atau penerapan hukum terjadi kesenjangan atau ketegangan dengan ketertiban dan keadilan. Keadilan menurut Ulpianus, 'Justitia est contants et perpetua voluntas ius suum quique tribuendi – keadilan adalah kehendak yang tetap dan tidak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya. Ketegangan atau kesenjangan dalam mencapai keadilan ini sangat tergantung dari pemahaman (baca: penafsiran) masyarakat, khususnya lembaga penegak hukum terhadap peraturan-peraturan tertentu. 

Padahal penegakan hukum (baca: peraturan) dibutuhkan untuk menjaga terbentuknya kepastian hukum dalam masyarakat. Bahkan diaras faktual tersebut yaitu dalam penegakan hukum, sering terjadi pengesampingan tujuan hukum -keadilan - demi terciptanya ketertiban. Apeldoorn mengemukakan bahwa terdapat 2 aspek kepastian hukum, pertama, kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang kongkret. Kedua, kepastian hukum berarti perlindungan hukum (Peter Mahmud, 2005).

Penting dicatat disini bahwa pencapaian keadilan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku bukan keadilan di luar ketentuan hukum. Artinya ini mengandaikan bahwa peraturan atau ketentuan yang ada (hukum positif) memuat atau didalamnya terkandung keadilan. Juris praecepta sunt haec, honeste vivere, alterum non laedere, suum quiequie tribure  yaitu peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum adalah hidup yang patut tidak merugikan orang lain, memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Isu hukum dalam penelitian hukum akan berkisar pada upaya penyelesaian untuk meredakan ketegangan diantara tujuan hukum yang saling tarik menarik.

Download Bakul Isu Hukum............

Pengaruh Keberadaan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Investasi di Indonesia

Makalah ini didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh BKPM mengenai perkembangan realisasi investasi dalam kurun waktu 1990 – 31 Juli 2005. Dari data tersebut diketahui bahwa pertama, jumlah proyek PMDN berada di posisi tertinggi pasca orde baru adalah tahun 2000 dengan nilai proyek sebesar Rp. 22 milyar sejumlah 300 proyek. Kedua, jumlah proyek PMA mengalami posisi tertinggi pasca orde baru adalah tahun 2000 dengan nilai proyek sebesar US$ 9,8 juta sejumlah 638 proyek (lihat tabel 1 dan 2).

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya posisi tertinggi investasi pada tahun 2000 tersebut. Dimana salah satunya adalah eforia investasi sebagai pengaruh dari eforia politik pasca runtuhnya orde baru. Eforia investasi berkorelasi dengan jumlah investasi setelah tahun 2000 mengalami penurunan atau lebih rendah dibandingkan tahun 2000. Meskipun untuk PMDN jumlah proyek mengalami penurunan dibandingan sebelum orde baru. Sedangkan untuk PMA berbanding terbalik dengan PMDN dimana posisinya sangat dominan dalam investasi di Indonesia.

Sabtu, 26 September 2009

Karakter Penelitian Hukum

Bakul (bahan kuliah) Metode Penelitian Hukum FH UKSW pada kuliah tanggal 7 September 2009. 

MPH & Karakter Ilmu Hukum

Bakul (bahan kuliah) Metode Penelitian Hukum pada tanggal 31 Agustus 2009. 

Asas & Tujuan Penanaman Modal Menurut UU No. 25 Tahun 2007

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut dengan UU Penanaman Modal) menetapkan asas penanaman modal. Asas tersebut memedomani kaidah hukum yang tertuang dalam pasal-pasal dalam UU Penanaman Modal. Yang perlu diuji adalah apakah kaidah hukum tersebut sudah menjadi pengejawantahan dari asas-asas tersebut? Dimana asas (hukum) bersifat abstrak dan tidak mempunyai daya ikat bagi pemberlakuan (legal efficacy) dari suatu peraturan. Kaidah hukum-lah yang mempunyai kekuatan memaksa dan daya ikat untuk ditaati dan penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan.

Asas (hukum) penanaman modal ‘menginspirasi’ pembentukan pasal-pasal. Sehingga pasal-pasal tersebut dapat mencermikan keberadaan asas hukum yang bersifat abstrak-normatif. Adapun asas (hukum) penanaman modal yang terdapat dalam Pasal 3 adalah;

Kepastian hukum Penanaman modal diletakkan berdasarkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah
Keterbukaan Asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penanaman modal
Akuntabilitas Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlakuan yang sama dan Tidak membedakan asal negara Asas perlakukan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dg negara asing lainnya
Kebersamaan Asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-bersama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
Efisiensi berkeadilan Asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal yang mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing.
Berkelanjutan Asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.
Berwawasan lingkungan Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup
Kemandirian Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi
Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional

Kesepuluh asas tersebut yang dituangkan dalam pasal-pasal terkait untuk menjamin tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam UU Penanaman Modal. Yang perlu diperhatikan bahwa asas (hukum) penanaman modal tersebut mempertautkan dengan hukum atau undang-undang lain. Bahkan pertautan tidak saja dikonstruksi intra-bidang, melainkan juga antar-bidang seperti ekonomi, perdagangan internasional. Keterkaitan UU Penanaman Modal adalah dengan UU Lingkungan Hidup (asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan), UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (asas keterbukaan dan asas efisiensi keadilan), dan UU Usaha Kecil (asas kemandirian). Sedangkan antar-bidang ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, penanaman modal yang dilakukan di suatu negara dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Pertumbuhan ekonomi juga sekaligus menjadi tujuan penyelenggaraan penanaman modal. Pasal 3 ayat (2) UU Penanaman Modal menentukan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah;

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri;
h. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tujuan penanaman modal dijadikan ’mercusuar’ dalam kebijakan penanaman modal yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Teknis terkait dan Pemerintah Daerah. Tujuan dimaksud harus mampu mengarahkan kebijakan dasar penanaman modal yang diatur dalam Pasal 4 UU Penanaman Modal. Kebijakan dasar penanaman modal tersebut untuk [1] mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan [2] mempercepat peningkatan penanaman modal.
Kebijakan dasar penanaman modal menjadi tugas pemerintah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
a.Memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b.Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil menengah dan koperasi.

Jumat, 25 September 2009

Perppu Plt KPK: Menelikung UU KPK

Akhirnya Presiden SBY mengeluarkan Perppu Plt KPK. Sudah banyak pihak yang menganalisis mengenai ketepatan digunakannya Perppu dalam menyikapi kasus hukum yang melibatkan pimpinan KPK. Salah satu argumentasi yuridis yang digunakan adalah bahwa tidak terpenuhinya 'hal ihwal kegentingan yang bersifat memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Menurut Danang Kurniadipertama, prasyarat 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' belum terpenuhi karena meski KPK saat ini hanya dipimpin dua komisioner tak berarti lembaga tersebut tak dapat menjalankan fungsinya. Unsur kolegial sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) masih terpenuhi. 

Kedua, Perppu penunjukkan Plt pimpinan KPK terang menegasikan ketentuan dalam UU KPK yang mensyaratkan keikutsertaan DPR dalam penentuan pimpinan KPK. Dengan ditunjuk langsung maka hal itu juga akan mengganggu kemandirian KPK sebagai independence agencies. Ketiga, alasan Presiden yang lebih memilih menunjuk Plt dan mengesampingkan proses seleksi sebagaimana diamanatkan UU KPK terkesan terburu-buru dan sarat dengan muatan politis. Kecurigaan intervensi Presiden menjadi semakin tak bisa dielakkan.

Tulisan ini bermaksud mempertajam alasan yuridis ketiga yaitu bahwa penerbitan Perppu Plt pimpinan KPK mengesampingkan proses seleksi yang diamanatkan UU KPK. Dalam Pasal 33 UU KPK menyatakan bahwa 'dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia'. Dalam Pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan anggota KPK tunduk pada UU KPK. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa pertama, Pasal 33 ayat (1) UU KPK secara tegas mengatur mengenai mekanisme pengisian pimpinan KPK dalam hal terjadi kekosongan karena terjadi pemberhentian atau diberhentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU KPK. Terkait dengan kasus hukum yang menimpa pimpinan KPK saat ini maka alasan pemberhentiannya adalah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Kedua, penggunaan Perppu Plt oleh Presiden merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU KPK. Dalam ketentuan tersebut tidak dimungkinkan terjadinya penafsiran bahwa Presiden bisa menerbitkan Perppu untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dengan kata lain bahwa UU KPK tidak mengenal istilah Plt atau Pelaksana Tugas KPK, namun UU KPK menyatakan apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK maka Presiden mengajukan calon anggota pengganti ke DPR. Istilah kekosongan pimpinan KPK terjadi berkaitan dengan Pasal 32 UU KPK yang mengatur mengenai pemberhentian pimpinan KPK dengan persyaratan tertentu.

Kekosongan pimpinan KPK yang menjadi latar belakang terbitnya Perppu juga menjadi permasalahan hukum berkaitan dengan tingkat pemberhentian. Pasal 32 UU KPK mengatur tingkat pemberhentian karena melakukan tindak kejahatan yaitu terdakwa dan tersangka. Pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannyanya. Ini berbeda apabila pimpinan KPK menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan (Pasal 32 ayat (1) angka 3 UU KPK) akan diberhentikan secara tetap. Padahal dalam kasus hukum yang melibatkan 3 (tiga) pimpinan KPK berada pada tingkat tersangka, karena masih ditangani oleh POLRI dan baru akan dilimpahkan ke Kejaksaan.

Apakah dengan demikian terjadi ketergesaan yuridis yang dilakukan oleh Presiden dalam menerbitkan Perppu? Dimana kekosongan pimpinan KPK akibat tersangkut tindak pidana kejahatan baru berada pada status tersangka. Dan penerbitan Perppu tersebut menjadi bentuk pelanggaran hukum dengan hukum, artinya bahwa UU KPK sudah mengatur mengenai mekanisme dalam hal terjadinya kekosongan pimpinan KPK tetapi oleh Presiden dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu. Dan 'keterbatasan' UU KPK dalam hal terjadi kekosongan hukum yang 'diterobos' dengan Perppu No. 4/2009. Terobosan tersebut dilakukan dengan mengubah secara khusus Pasal 33 UU KPK yaitu menambah Pasal 33A dan 33B.

Dalam Pasal 33A Perppu No. 4/2009 menyatakan bahwa apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK yang mengakibatkan jumlah pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang maka Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK. Ketentuan dalam Perppu inilah yang menelikung UU KPK, yaitu mengebiri peran publik melalui DPR dalam proses seleksi pimpinan KPK. Kembali kepada alasan penerbitan Perppu yaitu adanya ihwal kegentingan yang memaksa, maka ratio decidendi dari Presiden untuk mengeluarkan Perppu dapat dilihat di bagian menimbang.

Pertama, pemikiran Presiden potensi munculnya ketidakpastian hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi akibat terjadinya kekosongan anggota pimpinan KPK. Terminologi ketidakpastian hukum ini membutuhkan penjelasan atau penafsiran, karena apakah memang kekosongan pimpinan KPK dapat melahirkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum merupakan negasi dari kepastian hukum yang menurut Van Apeldoorn dimaknai mempunyai 2 (dua) aspek yaitu [1] kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang kongkret; [2] kepastian hukum berarti perlindungan hukum. ertolak dari pengertian kepastian hukum tersebut maka UU Pemberantasan Tipikor sudah membuktikan mampu membangung kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, dengan Perppu Presiden menginginkan percepatan pengisian kekosongan anggota KPK. Keinginan Presiden inilah yang perlu diuji dengan alasan konstitusional yaitu ihwal kegentingan memaksa. Pengujian terhadap keinginan Presiden yang tertuang dalam pertimbangan Perppu perlu dikaitkan dengan kepastian hukum dan percepatan seleksi anggota KPK.

Presiden menelikung UU KPK khususnya Pasal 33 yang dengan jelas memuat mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK. Dengan demikian DPR harus bisa membatalkan Perppu tersebut dengan mengembalikan mekanisme pengisian kekosongan KPK berdasarkan UU KPK. Langkah Presiden ini layak dicermati dalam hal pertama, sebagai bentuk penafsiran terhadap UU KPK. Kedua, menjadi upaya untuk mendelegitimasi UU KPK. Pertanyaannya adalah mengapa Presiden tidak mengindahkan Pasal 33 UU KPK? Apakah Presiden mempunyai keinginan untuk 'mengarahkan' pemberantasan korupsi oleh KPK?



Kamis, 17 September 2009

Tujuan Hukum: Refleksi Atas Hukum

Menurut teoritisi hukum, tujuan hukum ada tiga yaitu menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Tujuan hukum ini sebenarnya merefleksi hakekat hukum itu sendiri, dimana keberadaannya diarahkan untuk menciptakan dan menjaga kondisi masyarakat yang berdasarkan pada cita awal keberadaan masyarakat. Artinya tujuan hukum merupakan tujuan masyarakat, dan pencapaiannya akan beriring dengan terwujudnya tujuan masyarakat.

Tujuan hukum mungkin sesuatu yang utopis, nyaris sulit diwujudkan meski tetap bisa dilakukan. Pencapaian tujuan hukum dapat dilakukan dengan penetapan 'mekanisme' dan 'kondisi' tertentu, sehingga suatu keadaan bisa dinyatakan sebagai terwujudnya tujuan hukum. Kepastian pencapaian tujuan hukumpun menjadi sesuatu yang sebenarnya opsional, artinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum tidak bisa dilakukan secara simultan. Padahal tujuan hukum tersebut menjadi 'trilogi' tujuan yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan atau dipilah menurut prioritas tertentu.

Pencapaian yang cenderung terbelah diantara ketiganya mendorong munculnya distorsi terhadap keberadaan hukum. Distorsi dimaksud adalah munculnya pandangan bahwa hukum menjadi tujuan. Hukum merupakan tujuan dari masyarakat tidak sekedar mereduksi hakekat hukum tetapi juga mendegradasi keberadaan masyarakakat. 'Jebakan' dari distorsi ini menjadi bagian dari pemahaman yang keliru terhadap adagium hukum, 'ibi ius ubi societas' yaitu dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Adagium tersebut menempatkan hukum sebagai resultan dari proses bermasyarakat, tetapi bukan menjadi kesadaran untuk meletakkan dasar keberadaan masyarakat adalah menciptakan hukum.

Distorsi hukum inilah yang terjadi di bumi pertiwi ini, sebagaimana ditampilkan oleh pembentuk undang-undang di akhir masa periodenya. 1 bulan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR terdapat beberapa RUU yang dibahas dan sebagaian sudah disahkan menjadi undang-undang. Dalil yang dapat dikemukakan oleh wakil rakyat adalah waktu sebagai legislatif tersita dalam hajatan demokrasi seperti pemilu legislatif dan pemilu pemilihan presiden. Namun pemilu tidak bisa dijadikan dasar argumentasi untuk membela diri mengapa menjelang berarkhirnya masa jabatan banyak RUU yang dibahas dan diundangkan?

Namun dalam note ini akan difokuskan mengapa begitu banyak undang-undang yang dihasilkan tidak berkorelasi dengan tingkat penegakan hukum yang mengarah pada tercapainya tujuan hukum. Berkaitan dengan paparan di paragraf awal note ini, bahwa hukum dibuat mempunyai 'trilogi tujuan' sehingga penegakan hukum diarahkan untuk mencapai trilogi tujuan. Sayangnya, penegakan hukum lebih menghamba kepada undang-undang daripada kepada hukum dengan kemuliaan tujuannya. Penghambaan kepada undang-undang inilah yang banyak melahirkan distorsi atau korupsi penegakan hukum. Undang-undang sebagai salah satu bentuk hukum harus dikembalikan kepada tujuan hukum, yaitu keberadaanya harus mampu mewujudkan tujuan hukum.

Hukum yang dipahami sebagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan sebenarnya hanya sebagian dari wujud hukum. Hukum yang demikian tetap merupakan hukum, tetapi masih ada wujud lain hukum yaitu sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai keadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005). Jus est ars boni et aequi – law is the science of what is good and just – hukum yang sebenarnya adalah hukum yang substansinya berkaitan dengan keadilan. Cicero-pun mengatakan bahwa justice inheres in the very definition of law (A Dictionary of The Social Science, 1969: 378].

Keadilan seharusnya terkandung dalam hukum untuk mendorong terciptanya ketertiban dan kepastian hukum. Dalam penerapannya, sering terjadi ketegangan dalam usaha untuk mencapai trilogi tujuan hukum. Ketegangan ini seolah-olah mengabadikan pengesampingan 2 (dua) dari trilogi tujuan hukum, ketika hendak mewujudkan salah satu dari triloginya.

Dipengaruhi oleh sistem hukum kontinental dan perkembangan mashab sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound, Indonesia memberhalakan penciptaan hukum dalam bentuknya peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang). Seperti terjadi pada bulan September 2009, DPR sebagai salah satu aktor pembentuk hukum melakukan kejar target pembahasan dan pengesahan undang-undang. Yaitu UU Perfilman, UU Lingkungan Hidup, dan 3 (tiga) RUU yang mengundang kontroversi di masyarakat, RUU Pengadilan Tipikor, RUU Jaminan Produk Halal dan RUU Rahasia Negara. RUU terakhir di tarik kembali oleh Pemerintah sebagaimana diungkapkan oleh Menhan RI.

Pencapaian trilogi tujuan hukum dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia berawal dari pembentukan hukum (baca: undang-undang) di DPR. Bagaimana secara filosofis, sosiologis dan yuridis, UU yang akan dibentuk harus diarahkan pada pencapaian trilogi tujuan hukum. Penyimpangan dalam proses penciptaan trilogi tujuan hukum tidak hanya terjadi pada aras penegakan hukum, melainkan juga pada saat proses pembentukan hukum (baca: undang-undang).

Sebagaimana nampak dari proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, DPR mengingkari putusan MK yang hanya menyatakan bahwa pengadilan tipikor yang saat ini ada tidak mempunyai dasar hukum seperti jenis pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Tetapi DPR dengan hak yang dimilikinya, DPR dalam membahas RUU tersebut melampaui putusan MK yaitu bermaksud mengebiri kewenangan KPK dalam bidang penuntutan. Hukum yang demikian apabila nantinya disahkan akan mendorong pendistorsian trilogi tujuan hukum.

Substansi maupun mekanisme penegakan hukum yang hendak didesain akan melahirkan negasi trilogi tujuan hukum. Keberhasilan KPK dengan dinamikanya mengembalikan keyakinan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi dan mencoba meraih mimpi Indonesia tanpa korupsi. Hukum (baca: undang-undang) yang mendistorsi trilogi tujuan hukum hanya akan sekedar menjadi alat kekuasaan dan menjauhkan dari dari nilai-nilai yang bersifat preskriptif. Nilai-nilai tersebut hadir dalam asas dan norma yang mengatur kaedah berperilaku sebelum adanya hukum (formal) mengatur hubungan-hubungan antar individu dalam masyarakat.

Distorsi trilogi tujuan hukum terjadi juga pada pembahasan RUU Jaminan Produk Halal yang cenderung menghamba pada keyakinan tertentu dan mengesampingkan nilai-nilai universal yang dijadikan dasar bagi pembentukan NKRI. Dengan maksud yang sama-sama terpuji yaitu melindungi konsumen dari itikad tidak baik dalam memproduksi makanan dan minimum, RUU Jaminan Produk Halal menjadi RUU Keselamatan dan Keamanan Produk. Artinya nilai-nilai pluralisme yang sudah hidup bahkan sebelum Indonesia lahir dicoba untuk diingkari oleh DPR.

Hukum dengan distorsi trilogi tujuan hukum berpotensi meniadakan nilai-nilai yang mewujud dalam norma dan asas. Dimana nilai-nilia tersebut sudah lama hidup dan diakui oleh bangsa Indonesia, dan DPR mencoba mengingkari keberadaanya dengan mencangkokkan nilai-nilai lain yang dapat mengganggu keharmonisan nilai yang selama ini dianut.Padahal hukum seharusnya mencipta yaitu mencipta keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, kalaupun meniadakan maka yang hendak ditiadakan adalah ketidakadilan, ketidaktertiban dan ketidakkepastian hukum.

Bertolak dari gagasan diatas maka sekedar mengingat bahwa ada adagium, legislatorum est viva vox, rebus et non verbis legem imponere (the voice of legislators is living voice, to impose laws on things, and not words). Dalam konteks Indonesia kekinian maka DPR dalam membentuk hukum (baca: undang-undang) harus menyadari bahwa dirinya adalah suara yang hidup, suara yang mewakili rakyat bukan dirinya sendiri atau partainya sendiri. Dengan menghidupkan suara rakyat dalam pasal di undang-undang maka tidak menjadi huruf yang mati tetapi mampu menggerakkan dan mengarahkan penegakan hukum ke terciptanya trilogi tujuan hukum.

Selasa, 15 September 2009

Konspirasi & Legalisasi Korupsi

Korupsi sama dengan mencuri, tetapi terkadang kita lupa bahwa itu pencurian. Niat untuk memberantas menggema dalam sanubari pemilik kekuasaan. Tapi daya tidak selaras dengan cita. Bahkan ketika 'ciptaan' sudah mampu menunjukkan karya hendak dikebiri. Berbagai konspirasi mencoba menghadang cipta-kpk agar berhenti dari kemampuan menerobos, menelisik berbagai aneka korupsi dalam ruang gelap.

Konspirasi mengepung dari semua arah, melawan dengan gagah namun tak kasat mata tetapi mengarah pada pemberangusan cipta-kpk. Cipta-legis, cipta-polis dan cipta-eksekutif baik presi dan jaksi mencoba memberangus dengan dalih mengungkap pembunuhan. Padahal cipta-polis dan cipta-jaksi kalah garang dalam mencokok koruptor, karena mereka bagian dari jejaring korupsi.

Pencurian sebagai street crime dipandang sebagai kejahatan kelas teri yang patut dihajar dengan palu hukum. Tetapi korupsi pada hakekatnya juga street crime dengan kondisi jalanan yang terbuat dari marmer. Konspirasi untuk membunuh cipta-kpk juga terjadi ketika cipta-legis berlama-lama dengan dasar hukum sang pengadil. Padahal kelahiran sang pengadil berkejaran dengan durasi jabatan cipta-legis yang tinggal menunggu habis.

Bahkan konon cerita. cipta-presi marah ketika besan masuk bui menanggung malu karena korupsi yang dilakukan ketika bekerja di BI. Sehingga menyampaikan kegeraman dalam bahasa yang santun tetapi menghujam, bahwa cipta-kpk lembaga yang tiada mengontrol dan hanya bertanggung jawab kepada sang Khalik. Tetralogi konspirasi sedang mengepung cipta-kpk, hendakkah kesadaran pemberantasan korupsi memudar tanpa dukungan kuat political will sang penguasa. Bahkan seorang petinggi cipta-polis mengatakan, cicak mau melawan buaya. Bagi cipta-polis, cipta-kpk hanya seekor cicak yang hanya mampu menangkap nyamuk.

Ketika tetralogi konspirasi menghadang, keinginan bumi hangus korupsi akan sangat tergantung dari kemauan masyarakat untuk andil dalam pembumi hangusan. Tetapi kultur dan habitus publik tidak menampakkan dirinya anti korupsi. Publik bahkan cenderung permisif terhadap mereka yang sedang atau telah melakukan pencurian uang publik. Mereka memuja, menempatkan pada etalase sosial dengan gemerlap sanjungan.

Seorang cendekia pernah berujar bahwa korupsi sudah membudaya. Pada waktu itu banyak cendekia yang lain menolak bahwa kita bangsa dengan budaya adiluhung tidak mempunyai budaya korupsi. Tetapi saat ini Indonesia selalu menduduki peringkat tertinggi dalam korupsi meski belum juara utama. Sehingga benak bertanya, adakah jalan untuk bergaul dan bergumul dengan korupsi untuk mendorong kemaslahatan publik?

Tanya itu bukan bermaksud melegitimasi korupsi, namun mengibaratkan pelacuran yang meski secara hukum, moral dan budaya dilarang atau dianggap tidak etis tetapi tetap eksis. Bahkan penolakan malah mencipta watak hipokrisi publik, yang sadar terhadap pelanggaran tetapi membiarkan pelacuran ada dengan berbagai derivasi seperti perselingkuhan.

Mungkinkah korupsi dilegalilasi? Pertanyaan ini sebagai hasil pergumulan dengan kesulitan untuk memberantasnya. Bahkan berteriak anti korupsipun dianggap sebagai gila karena melawan arus utama pandangan masyarakat. Kemudian muncul tanya, bagaimana cara melegalisasi korupsi kalo korupsi terjadi di ruang gelap nir moral.

RUU Jaminan Produk Halal: Substansi-Ideologi-Hukum vs NKRI & Pancasila

Notes ini mempunyai dua arti penting yaitu [1] melanjutkan apa yang sudah diprakarsai oleh sdr Ferdinand Umbu dan [2] keberlanjutan tersebut dilakukan dengan mencoba mengelaborasi lebih lanjut mengenai isu-isu (hukum & politik) dari RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Elaborasi dimaksud mencoba menukik pada substansi, kemudian melakukan kajian terhadap substansi terkait dengan isu-isu yang mungkin menyertai proses kelahiran RUU JPH. Untuk itu sebelumnya saya mengapresiasi lontaran diskusi via note yang dilakukan sdr. Ferdinand Umbu.

RUU JPH terdiri dari 44 Pasal, 12 Bab yaitu antara lain Tugas dan Wewenang; Bahan Baku dan Proses Produk Halal; Tata Cara Memperoleh JHP; Auditor Halal; Kerjasama; Pengawasan; Sanksi Administrasi; Penyidikan. Ketentuan krusial yang menimbulkan perdebatan bagi warga bangsa dan layak dilakukan diskusi untuk memperdalam substansi antara lain, PERTAMA, bagian menimbang yang memuat ide-ide pertimbangan, latar belakang akan diaturnya JPH. Dalam bagian tersebut memuat [1] kewajiban negara untuk melindungi SEGENAP bangsa Indonesia dan SELURUH tumpah darah Indonesia; [2] jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; [3] kemerdekaan beribadat dalam RUU ini dimaksud adalah negara wajib menjamin kehalalan makanan dan minuman; [3] sebaran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehalalan produk belum memberikan kepastian hukum atas tersedianya produk halal bagi masyarakat.

Dari pertimbangan tersebut memuat dengan tegas Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan HAM yang terdapat dalam konstitusi. Sehingga dalam konteks ini terjadi contradiction in terminis antara pertimbangan dengan substansi yang hendak diatur. Artinya bahwa perlindungan untuk SEGENAP dan SELURUH WNI akan menjadi potensi diskriminasi apabila substansi-nya yang mengatur mengenai hal-hal yang terkait dengan keyakinan tertentunya. Tentunya bukan tanpa niat baik pengaturan produk halal tersebut yaitu bahwa ada jaminan kesehatan bagi produk makanan/minuman yang dikonsumsi masyarakat. Tetapi apabila dasarnya bukan prinsip-prinsip universal atau adopsi dari keyakinan tertentu berpotensi menimbulkan diskriminasi maka undang-undang yang akan dihasilkan diragukan validitas dan efficacy-nya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahwa adopsi dari prinsip atau keyakinan tertentu tidak menjadi masalah, namun harus didasarkan pada semangat nasionalisme yaitu NKRI. Undang-undang akan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak bisa dibeda-bedakan pemberlakuannya. Sehingga adopsi prinsip dilakukan atas prinsip yang dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa. Atau mengarahkan semangat untuk menjamin kehalalan produk dalam konteks melindungi konsumen Indonesia. Artinya kehalalan produk diarahkan pada ketersediaan jaminan keamanan dan kesehatan bagi konsumen atau masyarakat yang mengkonsumsi makanan atau minuman.

KEDUA, definisi produk halal. Produk halal adalh makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, produk rekayasa genetika yang tersusun dari unsur halal untuk dimakan, diminum atau digunakan yang telah melalui proses produk halal sesuai dengan syariah. Definisi ini tidak ada masalah kecuali frasa '.........sesuai dengan syariah'. Dengan prinsip hukum bahwa peraturan perundang-undangan berlaku untuk seluruh WNI maka frasa tersebut akan berpotensi mendikotomi warga bangsa. Dikotomi inilah yang dapat melahirkan diskriminasi baik dari aspek substansi maupun penerapannya ketika menjadi undang-undang. Untuk RUU JPH ini harusnya diarahkan pada semangat nasionalisme NKRI yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia. Diarahkannya semangat ke nasionalisme NKRI adalah dengan membuat dasar pembuatan RUU JPH ini ke aspek-aspek universal yaitu keamanan dan kesehatan produk makanan dan minuman.

KETIGA, berkaitan dengan tugas dan wewenang. Dalam hal ini saya hanya mengutip pendapat anggota DPR yang melakukan talk show di AN TV tanggal 7 September 2009, bahwa pendelegasian wewenang untuk melakukan pemeriksaan seharusnya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk oleh undang-undang. Inipun dapat disiasati dengan pengajuan RUU tentang MUI untuk mengakomodasi prinsip hukum tersebut. Tetapi demi menjaga persatuan dan kesatuan NKRI maka diarahkan ke lembaga profesional (bukan keagamaan) yang berwenang melakukan sertifikasi keamanan dan keselamatan pangan di Indonesia.

KEEMPAT, proses produk halal. Proses inilah yang kembali menegaskan kembali potensi keterbelahan dalam pembentukan dan penerapan undang-undang. Dalam salah satu pasalnya diatur bahwa bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal 'bismillahirahmanirrahim' dan tuntunan penyembelihan sesuai dengan syariah. Ini kembali terjadi pertentangan mengenai bagian pertimbangan yang bermaksud melindung SEGENAP & SELURUH bangsa Indonesia tetapi mempunyai potensi mendiskriminasi dan memaksakan kehendak. Idealnya proses produk halal didasarkan pada kaedah-kaedah kesehatan bukan berdasarkan kaedah agama atau syariah agama tertentu.

Itulah empat hal yang krusial untuk didiskusikan oleh civil society terkait dengan RUU yang mempunyai potensi memecah belah dan pemaksaan kehendak bagi warga bangsa tertentu. Untuk disarankan agar RUU ini diarahkan ke semangat nasionalisme NKRI yaitu pengaturan jaminan keamanan dan keselamatan produk.

Sekali lagi ini tidak bermaksud mendiskreditkan kelompok atau keyakinan tertentu, tetapi sebagai bentuk diseminasi terhadap ketentuan yang akan mengatur dan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu seyogyanya, peraturan perundang-undangan dapat menerapkan asas dan prinsip yang dapat diterima SEGENAP & SELURUH warga bangsa. Karena watak keberlakuan dari undang-undang bagi semua WNI. Dan note ini menjadi pembuka diskusi dengan semangat demokrasi dan kebangsaan.

Selamat berdiskusi.

Rabu, 02 September 2009

Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional

Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional*

Yakub Adi Krisanto

 

Pendahuluan

Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak dapat menghindarkan diri dari interaksi perdagangan internasional. Pertukaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional melampau batas wilayah negara. Perdagangan internasional mencerminkan gross domestic product (GDP) atau gross domestic income (GDI), yaitu pengukuran dasar dari kondisi ekonomi suatu negara dan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang dibuat di negara tersebut.[1] GDP berkaitan dengan pengukuran fundamental dari produksi dan standar kehidupan.

Perdagangan internasional menjadi sumber utama dari pendapatan ekonomi suatu negara. Karena tanpa perdagangan internasional, suatu negara akan terbatasi dalam wilayahnya sendiri ketika memproduksi barang dan jasa. Dalam hal demikian, suatu negara tidak akan mempunyai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sendiri atau mencukupi kebutuhan barang dan jasa dari produksi yang dilakukan di dalam negeri. Ketidak mampuan memproduksi barang dan jasa sendiri dipengaruhi oleh ketersedian sumber daya seperti tenaga kerja, modal dan bahan baku.

Perdagangan internasional dan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara meniscayakan terjadi pertukaran sumber daya antar negara. Dimana suatu negara untuk bersaing dalam perdagangan internasional membutuhkan kemampuan meningkatkan daya saing barang dan jasa dengan melakukan efisiensi produksi. Efisiensi produksi tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, pertama, menciptakan iklim usaha yang bersaing, kedua, membangun suatu pemerintahan yang kuat dan ketiga, memberikan dorongan serta akses terhadap keterampilan, teknologi dan pasar asing.[2]

Pertukaran sumber daya antar negara mengakibatkan terjadi masuknya sumber daya dari luar negara ke negara tertentu. Masuknya sumber daya tersebut dapat dimaknai dalam 2 (dua) aspek yaitu pertama, sebagai bagian dari perdagangan internasional, dimana pemilik modal mencari lokas usaha untuk meningkatkan added value dari modal yang dimiliki dan kedua, peningkatan kapasitas produksi dalam negeri yang memiliki keterbatasan sumber daya tertentu. Meskipun suatu negara mempunyai sumber daya yang berlimpah seperti sumber daya alam tetapi kebutuhan atas sumber daya untuk mendukung penciptaan added value dari sumber daya alam tetap dibutuhkan.

 

Liberalisasi Perdagangan & Investasi

Dengan adanya rejim perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan maka tukar menukar sumber daya antar negara mengalami peningkatan. Pengaruh globalisasi mengintegrasikan perdagangan antar negara, dimana melahirkan perdagangan bebas yang menuntut setiap negara membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan karakteristik perdagangan bebas. Karakteristik perdagangan bebas adalah kebebasan melakukan perdagangan termasuk investasi untuk memproduksi barang atau jasa. Kebebasan berusaha membentuk iklim usaha yang mendorong persaingan usaha yang sehat. Salah satu manifestasi iklim usaha adalah akses pasar bagi para pemilik modal untuk melakukan kegiatan produksi.

Iklim usaha tersebut meliputi namun tidak terbatas pada ketersediaan fasilitas transportasi, kemudahan melakukan usaha, akses kredit ke lembaga perbankan, jaminan keamanan, pajak, perlindungan hukum dan ketersediaan pasokan bahan baku. Dalam hal ini upah buruh murah tidak termasuk dalam iklim usaha karena pemerintah harus belajar bahwa upah buruh tidak lagi menjadi daya tarik investasi. Tetapi ketersediaan tenaga kerja dapat menjamin keberlangsungan kegiatan usaha yang didukung dengan perlindungan hukum ketenagakerjaan.

Daya tarik suatu negara dalam memperoleh investasi adalah kemampuan menunjukkan iklim investasi yang baik. Bahwa yang dimaksud dengan iklim investasi yang baik apabila pemerintah memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha.[3] Usaha untuk menciptakan iklim investasi yang baik sebagai bagian dari daya tarik suatu negara menjadi pertimbangan pembaruan dan pembentukan UU Penananam Modal. Pun demikian yang terjadi di Indonesia, dimana kesadaran mengenai arti penting iklim investasi yang baik tertuang dalam bagian d UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.

Adaptasi terhadap situasi global dan kesadaran mengenai arti penting penanaman modal (investasi) bagi perekonomian Indonesia telah mendorong untuk memperbaiki sistem hukum mengenai penanaman modal. Kesadaran tersebut terbangun dari perubahan perekomian global dengan globalisasi yang melahirkan liberalisasi perdagangan. Dimana aliran modal (capital inflow) menjadi sangat fleksibel untuk keluar-masuk dari dan ke suatu negara tertentu. Fleksibilitas aliran modal inilah yang harus dikelola agar tetap berada dalam suatu negara. Keberadaan modal dalam suatu negara berpengaruh terhadap kondisi perekomian, dimana penarikan modal (capital flight) memiliki contagion effect yaitu rendahnya tingkat kepercayaan internasional terhadap suatu negara.

Kesadaran akan arti penting penanaman modal juga dimiliki oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.[4]

Bahwa tujuan penanaman modal hanya dapat dicapai ketika iklim investasi dapat mengakomodasi kepentingan pemilik modal dan menjaga kepentingan nasional yaitu menciptakan lapangan kerja. Penciptaan iklim investasi yang menarik minta investor harus dilakukan dengan melakukan pembaruan terhadap pemberian ijin dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam pelaksanaan investasi. Dalam konteks inilah hukum penanaman modal menjadi penting khususnya pertama, mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap ketertarikan pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua, ketertarikan tersebut tidak hanya didasarkan ketersedian sumber daya alam atau tenaga kerja melainkan juga pembaruan terhadap kepastian hukum kegiatan berinvestasi. Ketiga, pembaruan hukum dilakukan untuk mendorong reformasi perijinan dalam berinvestasi dan jaminan keberlangsungan usaha.

Reformasi birokrasi dalam memangkas ekonomi biaya tinggi inilah yang menjadi salah satu titik tolak pengaturan dalam UU Penanaman Modal yaitu,

1.   mendorong koordinasi antar instansi dalam promosi dan pelayanan penanaman modal;

2.   koordinasi berkaitan dengan kecepatan pemberian ijin dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing;

3.   pelayanan perijinan terpadu satu pintu (one stop service);

 



* Makalah disampaikan sebagai materi perdana Hukum Investasi pada MK Hukum Korporasi pada tanggal 1 September 2009 di FH UKSW.

[2] Zukalnain Sitompul, Investasi Asing di Indonesia: Memetik Manfaat Liberalisasi, www.legalitas.org

[3] Ibid.

[4] Penjelasan Umum UU Penanaman Modal.