Selasa, 15 September 2009

Konspirasi & Legalisasi Korupsi

Korupsi sama dengan mencuri, tetapi terkadang kita lupa bahwa itu pencurian. Niat untuk memberantas menggema dalam sanubari pemilik kekuasaan. Tapi daya tidak selaras dengan cita. Bahkan ketika 'ciptaan' sudah mampu menunjukkan karya hendak dikebiri. Berbagai konspirasi mencoba menghadang cipta-kpk agar berhenti dari kemampuan menerobos, menelisik berbagai aneka korupsi dalam ruang gelap.

Konspirasi mengepung dari semua arah, melawan dengan gagah namun tak kasat mata tetapi mengarah pada pemberangusan cipta-kpk. Cipta-legis, cipta-polis dan cipta-eksekutif baik presi dan jaksi mencoba memberangus dengan dalih mengungkap pembunuhan. Padahal cipta-polis dan cipta-jaksi kalah garang dalam mencokok koruptor, karena mereka bagian dari jejaring korupsi.

Pencurian sebagai street crime dipandang sebagai kejahatan kelas teri yang patut dihajar dengan palu hukum. Tetapi korupsi pada hakekatnya juga street crime dengan kondisi jalanan yang terbuat dari marmer. Konspirasi untuk membunuh cipta-kpk juga terjadi ketika cipta-legis berlama-lama dengan dasar hukum sang pengadil. Padahal kelahiran sang pengadil berkejaran dengan durasi jabatan cipta-legis yang tinggal menunggu habis.

Bahkan konon cerita. cipta-presi marah ketika besan masuk bui menanggung malu karena korupsi yang dilakukan ketika bekerja di BI. Sehingga menyampaikan kegeraman dalam bahasa yang santun tetapi menghujam, bahwa cipta-kpk lembaga yang tiada mengontrol dan hanya bertanggung jawab kepada sang Khalik. Tetralogi konspirasi sedang mengepung cipta-kpk, hendakkah kesadaran pemberantasan korupsi memudar tanpa dukungan kuat political will sang penguasa. Bahkan seorang petinggi cipta-polis mengatakan, cicak mau melawan buaya. Bagi cipta-polis, cipta-kpk hanya seekor cicak yang hanya mampu menangkap nyamuk.

Ketika tetralogi konspirasi menghadang, keinginan bumi hangus korupsi akan sangat tergantung dari kemauan masyarakat untuk andil dalam pembumi hangusan. Tetapi kultur dan habitus publik tidak menampakkan dirinya anti korupsi. Publik bahkan cenderung permisif terhadap mereka yang sedang atau telah melakukan pencurian uang publik. Mereka memuja, menempatkan pada etalase sosial dengan gemerlap sanjungan.

Seorang cendekia pernah berujar bahwa korupsi sudah membudaya. Pada waktu itu banyak cendekia yang lain menolak bahwa kita bangsa dengan budaya adiluhung tidak mempunyai budaya korupsi. Tetapi saat ini Indonesia selalu menduduki peringkat tertinggi dalam korupsi meski belum juara utama. Sehingga benak bertanya, adakah jalan untuk bergaul dan bergumul dengan korupsi untuk mendorong kemaslahatan publik?

Tanya itu bukan bermaksud melegitimasi korupsi, namun mengibaratkan pelacuran yang meski secara hukum, moral dan budaya dilarang atau dianggap tidak etis tetapi tetap eksis. Bahkan penolakan malah mencipta watak hipokrisi publik, yang sadar terhadap pelanggaran tetapi membiarkan pelacuran ada dengan berbagai derivasi seperti perselingkuhan.

Mungkinkah korupsi dilegalilasi? Pertanyaan ini sebagai hasil pergumulan dengan kesulitan untuk memberantasnya. Bahkan berteriak anti korupsipun dianggap sebagai gila karena melawan arus utama pandangan masyarakat. Kemudian muncul tanya, bagaimana cara melegalisasi korupsi kalo korupsi terjadi di ruang gelap nir moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar