Selasa, 15 September 2009

RUU Jaminan Produk Halal: Substansi-Ideologi-Hukum vs NKRI & Pancasila

Notes ini mempunyai dua arti penting yaitu [1] melanjutkan apa yang sudah diprakarsai oleh sdr Ferdinand Umbu dan [2] keberlanjutan tersebut dilakukan dengan mencoba mengelaborasi lebih lanjut mengenai isu-isu (hukum & politik) dari RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Elaborasi dimaksud mencoba menukik pada substansi, kemudian melakukan kajian terhadap substansi terkait dengan isu-isu yang mungkin menyertai proses kelahiran RUU JPH. Untuk itu sebelumnya saya mengapresiasi lontaran diskusi via note yang dilakukan sdr. Ferdinand Umbu.

RUU JPH terdiri dari 44 Pasal, 12 Bab yaitu antara lain Tugas dan Wewenang; Bahan Baku dan Proses Produk Halal; Tata Cara Memperoleh JHP; Auditor Halal; Kerjasama; Pengawasan; Sanksi Administrasi; Penyidikan. Ketentuan krusial yang menimbulkan perdebatan bagi warga bangsa dan layak dilakukan diskusi untuk memperdalam substansi antara lain, PERTAMA, bagian menimbang yang memuat ide-ide pertimbangan, latar belakang akan diaturnya JPH. Dalam bagian tersebut memuat [1] kewajiban negara untuk melindungi SEGENAP bangsa Indonesia dan SELURUH tumpah darah Indonesia; [2] jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; [3] kemerdekaan beribadat dalam RUU ini dimaksud adalah negara wajib menjamin kehalalan makanan dan minuman; [3] sebaran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehalalan produk belum memberikan kepastian hukum atas tersedianya produk halal bagi masyarakat.

Dari pertimbangan tersebut memuat dengan tegas Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan HAM yang terdapat dalam konstitusi. Sehingga dalam konteks ini terjadi contradiction in terminis antara pertimbangan dengan substansi yang hendak diatur. Artinya bahwa perlindungan untuk SEGENAP dan SELURUH WNI akan menjadi potensi diskriminasi apabila substansi-nya yang mengatur mengenai hal-hal yang terkait dengan keyakinan tertentunya. Tentunya bukan tanpa niat baik pengaturan produk halal tersebut yaitu bahwa ada jaminan kesehatan bagi produk makanan/minuman yang dikonsumsi masyarakat. Tetapi apabila dasarnya bukan prinsip-prinsip universal atau adopsi dari keyakinan tertentu berpotensi menimbulkan diskriminasi maka undang-undang yang akan dihasilkan diragukan validitas dan efficacy-nya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahwa adopsi dari prinsip atau keyakinan tertentu tidak menjadi masalah, namun harus didasarkan pada semangat nasionalisme yaitu NKRI. Undang-undang akan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak bisa dibeda-bedakan pemberlakuannya. Sehingga adopsi prinsip dilakukan atas prinsip yang dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa. Atau mengarahkan semangat untuk menjamin kehalalan produk dalam konteks melindungi konsumen Indonesia. Artinya kehalalan produk diarahkan pada ketersediaan jaminan keamanan dan kesehatan bagi konsumen atau masyarakat yang mengkonsumsi makanan atau minuman.

KEDUA, definisi produk halal. Produk halal adalh makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, produk rekayasa genetika yang tersusun dari unsur halal untuk dimakan, diminum atau digunakan yang telah melalui proses produk halal sesuai dengan syariah. Definisi ini tidak ada masalah kecuali frasa '.........sesuai dengan syariah'. Dengan prinsip hukum bahwa peraturan perundang-undangan berlaku untuk seluruh WNI maka frasa tersebut akan berpotensi mendikotomi warga bangsa. Dikotomi inilah yang dapat melahirkan diskriminasi baik dari aspek substansi maupun penerapannya ketika menjadi undang-undang. Untuk RUU JPH ini harusnya diarahkan pada semangat nasionalisme NKRI yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia. Diarahkannya semangat ke nasionalisme NKRI adalah dengan membuat dasar pembuatan RUU JPH ini ke aspek-aspek universal yaitu keamanan dan kesehatan produk makanan dan minuman.

KETIGA, berkaitan dengan tugas dan wewenang. Dalam hal ini saya hanya mengutip pendapat anggota DPR yang melakukan talk show di AN TV tanggal 7 September 2009, bahwa pendelegasian wewenang untuk melakukan pemeriksaan seharusnya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk oleh undang-undang. Inipun dapat disiasati dengan pengajuan RUU tentang MUI untuk mengakomodasi prinsip hukum tersebut. Tetapi demi menjaga persatuan dan kesatuan NKRI maka diarahkan ke lembaga profesional (bukan keagamaan) yang berwenang melakukan sertifikasi keamanan dan keselamatan pangan di Indonesia.

KEEMPAT, proses produk halal. Proses inilah yang kembali menegaskan kembali potensi keterbelahan dalam pembentukan dan penerapan undang-undang. Dalam salah satu pasalnya diatur bahwa bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal 'bismillahirahmanirrahim' dan tuntunan penyembelihan sesuai dengan syariah. Ini kembali terjadi pertentangan mengenai bagian pertimbangan yang bermaksud melindung SEGENAP & SELURUH bangsa Indonesia tetapi mempunyai potensi mendiskriminasi dan memaksakan kehendak. Idealnya proses produk halal didasarkan pada kaedah-kaedah kesehatan bukan berdasarkan kaedah agama atau syariah agama tertentu.

Itulah empat hal yang krusial untuk didiskusikan oleh civil society terkait dengan RUU yang mempunyai potensi memecah belah dan pemaksaan kehendak bagi warga bangsa tertentu. Untuk disarankan agar RUU ini diarahkan ke semangat nasionalisme NKRI yaitu pengaturan jaminan keamanan dan keselamatan produk.

Sekali lagi ini tidak bermaksud mendiskreditkan kelompok atau keyakinan tertentu, tetapi sebagai bentuk diseminasi terhadap ketentuan yang akan mengatur dan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu seyogyanya, peraturan perundang-undangan dapat menerapkan asas dan prinsip yang dapat diterima SEGENAP & SELURUH warga bangsa. Karena watak keberlakuan dari undang-undang bagi semua WNI. Dan note ini menjadi pembuka diskusi dengan semangat demokrasi dan kebangsaan.

Selamat berdiskusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar