Jumat, 25 September 2009

Perppu Plt KPK: Menelikung UU KPK

Akhirnya Presiden SBY mengeluarkan Perppu Plt KPK. Sudah banyak pihak yang menganalisis mengenai ketepatan digunakannya Perppu dalam menyikapi kasus hukum yang melibatkan pimpinan KPK. Salah satu argumentasi yuridis yang digunakan adalah bahwa tidak terpenuhinya 'hal ihwal kegentingan yang bersifat memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Menurut Danang Kurniadipertama, prasyarat 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' belum terpenuhi karena meski KPK saat ini hanya dipimpin dua komisioner tak berarti lembaga tersebut tak dapat menjalankan fungsinya. Unsur kolegial sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) masih terpenuhi. 

Kedua, Perppu penunjukkan Plt pimpinan KPK terang menegasikan ketentuan dalam UU KPK yang mensyaratkan keikutsertaan DPR dalam penentuan pimpinan KPK. Dengan ditunjuk langsung maka hal itu juga akan mengganggu kemandirian KPK sebagai independence agencies. Ketiga, alasan Presiden yang lebih memilih menunjuk Plt dan mengesampingkan proses seleksi sebagaimana diamanatkan UU KPK terkesan terburu-buru dan sarat dengan muatan politis. Kecurigaan intervensi Presiden menjadi semakin tak bisa dielakkan.

Tulisan ini bermaksud mempertajam alasan yuridis ketiga yaitu bahwa penerbitan Perppu Plt pimpinan KPK mengesampingkan proses seleksi yang diamanatkan UU KPK. Dalam Pasal 33 UU KPK menyatakan bahwa 'dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia'. Dalam Pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan anggota KPK tunduk pada UU KPK. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa pertama, Pasal 33 ayat (1) UU KPK secara tegas mengatur mengenai mekanisme pengisian pimpinan KPK dalam hal terjadi kekosongan karena terjadi pemberhentian atau diberhentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU KPK. Terkait dengan kasus hukum yang menimpa pimpinan KPK saat ini maka alasan pemberhentiannya adalah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Kedua, penggunaan Perppu Plt oleh Presiden merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UU KPK. Dalam ketentuan tersebut tidak dimungkinkan terjadinya penafsiran bahwa Presiden bisa menerbitkan Perppu untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK. Dengan kata lain bahwa UU KPK tidak mengenal istilah Plt atau Pelaksana Tugas KPK, namun UU KPK menyatakan apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK maka Presiden mengajukan calon anggota pengganti ke DPR. Istilah kekosongan pimpinan KPK terjadi berkaitan dengan Pasal 32 UU KPK yang mengatur mengenai pemberhentian pimpinan KPK dengan persyaratan tertentu.

Kekosongan pimpinan KPK yang menjadi latar belakang terbitnya Perppu juga menjadi permasalahan hukum berkaitan dengan tingkat pemberhentian. Pasal 32 UU KPK mengatur tingkat pemberhentian karena melakukan tindak kejahatan yaitu terdakwa dan tersangka. Pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannyanya. Ini berbeda apabila pimpinan KPK menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan (Pasal 32 ayat (1) angka 3 UU KPK) akan diberhentikan secara tetap. Padahal dalam kasus hukum yang melibatkan 3 (tiga) pimpinan KPK berada pada tingkat tersangka, karena masih ditangani oleh POLRI dan baru akan dilimpahkan ke Kejaksaan.

Apakah dengan demikian terjadi ketergesaan yuridis yang dilakukan oleh Presiden dalam menerbitkan Perppu? Dimana kekosongan pimpinan KPK akibat tersangkut tindak pidana kejahatan baru berada pada status tersangka. Dan penerbitan Perppu tersebut menjadi bentuk pelanggaran hukum dengan hukum, artinya bahwa UU KPK sudah mengatur mengenai mekanisme dalam hal terjadinya kekosongan pimpinan KPK tetapi oleh Presiden dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu. Dan 'keterbatasan' UU KPK dalam hal terjadi kekosongan hukum yang 'diterobos' dengan Perppu No. 4/2009. Terobosan tersebut dilakukan dengan mengubah secara khusus Pasal 33 UU KPK yaitu menambah Pasal 33A dan 33B.

Dalam Pasal 33A Perppu No. 4/2009 menyatakan bahwa apabila terjadi kekosongan pimpinan KPK yang mengakibatkan jumlah pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang maka Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK. Ketentuan dalam Perppu inilah yang menelikung UU KPK, yaitu mengebiri peran publik melalui DPR dalam proses seleksi pimpinan KPK. Kembali kepada alasan penerbitan Perppu yaitu adanya ihwal kegentingan yang memaksa, maka ratio decidendi dari Presiden untuk mengeluarkan Perppu dapat dilihat di bagian menimbang.

Pertama, pemikiran Presiden potensi munculnya ketidakpastian hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi akibat terjadinya kekosongan anggota pimpinan KPK. Terminologi ketidakpastian hukum ini membutuhkan penjelasan atau penafsiran, karena apakah memang kekosongan pimpinan KPK dapat melahirkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum merupakan negasi dari kepastian hukum yang menurut Van Apeldoorn dimaknai mempunyai 2 (dua) aspek yaitu [1] kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang kongkret; [2] kepastian hukum berarti perlindungan hukum. ertolak dari pengertian kepastian hukum tersebut maka UU Pemberantasan Tipikor sudah membuktikan mampu membangung kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, dengan Perppu Presiden menginginkan percepatan pengisian kekosongan anggota KPK. Keinginan Presiden inilah yang perlu diuji dengan alasan konstitusional yaitu ihwal kegentingan memaksa. Pengujian terhadap keinginan Presiden yang tertuang dalam pertimbangan Perppu perlu dikaitkan dengan kepastian hukum dan percepatan seleksi anggota KPK.

Presiden menelikung UU KPK khususnya Pasal 33 yang dengan jelas memuat mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK. Dengan demikian DPR harus bisa membatalkan Perppu tersebut dengan mengembalikan mekanisme pengisian kekosongan KPK berdasarkan UU KPK. Langkah Presiden ini layak dicermati dalam hal pertama, sebagai bentuk penafsiran terhadap UU KPK. Kedua, menjadi upaya untuk mendelegitimasi UU KPK. Pertanyaannya adalah mengapa Presiden tidak mengindahkan Pasal 33 UU KPK? Apakah Presiden mempunyai keinginan untuk 'mengarahkan' pemberantasan korupsi oleh KPK?



1 komentar:

  1. wah,,dosen sekarang materinya dimasukin blog...
    seep mas yakub....

    BalasHapus