Kamis, 17 September 2009

Tujuan Hukum: Refleksi Atas Hukum

Menurut teoritisi hukum, tujuan hukum ada tiga yaitu menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Tujuan hukum ini sebenarnya merefleksi hakekat hukum itu sendiri, dimana keberadaannya diarahkan untuk menciptakan dan menjaga kondisi masyarakat yang berdasarkan pada cita awal keberadaan masyarakat. Artinya tujuan hukum merupakan tujuan masyarakat, dan pencapaiannya akan beriring dengan terwujudnya tujuan masyarakat.

Tujuan hukum mungkin sesuatu yang utopis, nyaris sulit diwujudkan meski tetap bisa dilakukan. Pencapaian tujuan hukum dapat dilakukan dengan penetapan 'mekanisme' dan 'kondisi' tertentu, sehingga suatu keadaan bisa dinyatakan sebagai terwujudnya tujuan hukum. Kepastian pencapaian tujuan hukumpun menjadi sesuatu yang sebenarnya opsional, artinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum tidak bisa dilakukan secara simultan. Padahal tujuan hukum tersebut menjadi 'trilogi' tujuan yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan atau dipilah menurut prioritas tertentu.

Pencapaian yang cenderung terbelah diantara ketiganya mendorong munculnya distorsi terhadap keberadaan hukum. Distorsi dimaksud adalah munculnya pandangan bahwa hukum menjadi tujuan. Hukum merupakan tujuan dari masyarakat tidak sekedar mereduksi hakekat hukum tetapi juga mendegradasi keberadaan masyarakakat. 'Jebakan' dari distorsi ini menjadi bagian dari pemahaman yang keliru terhadap adagium hukum, 'ibi ius ubi societas' yaitu dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Adagium tersebut menempatkan hukum sebagai resultan dari proses bermasyarakat, tetapi bukan menjadi kesadaran untuk meletakkan dasar keberadaan masyarakat adalah menciptakan hukum.

Distorsi hukum inilah yang terjadi di bumi pertiwi ini, sebagaimana ditampilkan oleh pembentuk undang-undang di akhir masa periodenya. 1 bulan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR terdapat beberapa RUU yang dibahas dan sebagaian sudah disahkan menjadi undang-undang. Dalil yang dapat dikemukakan oleh wakil rakyat adalah waktu sebagai legislatif tersita dalam hajatan demokrasi seperti pemilu legislatif dan pemilu pemilihan presiden. Namun pemilu tidak bisa dijadikan dasar argumentasi untuk membela diri mengapa menjelang berarkhirnya masa jabatan banyak RUU yang dibahas dan diundangkan?

Namun dalam note ini akan difokuskan mengapa begitu banyak undang-undang yang dihasilkan tidak berkorelasi dengan tingkat penegakan hukum yang mengarah pada tercapainya tujuan hukum. Berkaitan dengan paparan di paragraf awal note ini, bahwa hukum dibuat mempunyai 'trilogi tujuan' sehingga penegakan hukum diarahkan untuk mencapai trilogi tujuan. Sayangnya, penegakan hukum lebih menghamba kepada undang-undang daripada kepada hukum dengan kemuliaan tujuannya. Penghambaan kepada undang-undang inilah yang banyak melahirkan distorsi atau korupsi penegakan hukum. Undang-undang sebagai salah satu bentuk hukum harus dikembalikan kepada tujuan hukum, yaitu keberadaanya harus mampu mewujudkan tujuan hukum.

Hukum yang dipahami sebagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan sebenarnya hanya sebagian dari wujud hukum. Hukum yang demikian tetap merupakan hukum, tetapi masih ada wujud lain hukum yaitu sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai keadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005). Jus est ars boni et aequi – law is the science of what is good and just – hukum yang sebenarnya adalah hukum yang substansinya berkaitan dengan keadilan. Cicero-pun mengatakan bahwa justice inheres in the very definition of law (A Dictionary of The Social Science, 1969: 378].

Keadilan seharusnya terkandung dalam hukum untuk mendorong terciptanya ketertiban dan kepastian hukum. Dalam penerapannya, sering terjadi ketegangan dalam usaha untuk mencapai trilogi tujuan hukum. Ketegangan ini seolah-olah mengabadikan pengesampingan 2 (dua) dari trilogi tujuan hukum, ketika hendak mewujudkan salah satu dari triloginya.

Dipengaruhi oleh sistem hukum kontinental dan perkembangan mashab sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound, Indonesia memberhalakan penciptaan hukum dalam bentuknya peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang). Seperti terjadi pada bulan September 2009, DPR sebagai salah satu aktor pembentuk hukum melakukan kejar target pembahasan dan pengesahan undang-undang. Yaitu UU Perfilman, UU Lingkungan Hidup, dan 3 (tiga) RUU yang mengundang kontroversi di masyarakat, RUU Pengadilan Tipikor, RUU Jaminan Produk Halal dan RUU Rahasia Negara. RUU terakhir di tarik kembali oleh Pemerintah sebagaimana diungkapkan oleh Menhan RI.

Pencapaian trilogi tujuan hukum dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia berawal dari pembentukan hukum (baca: undang-undang) di DPR. Bagaimana secara filosofis, sosiologis dan yuridis, UU yang akan dibentuk harus diarahkan pada pencapaian trilogi tujuan hukum. Penyimpangan dalam proses penciptaan trilogi tujuan hukum tidak hanya terjadi pada aras penegakan hukum, melainkan juga pada saat proses pembentukan hukum (baca: undang-undang).

Sebagaimana nampak dari proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, DPR mengingkari putusan MK yang hanya menyatakan bahwa pengadilan tipikor yang saat ini ada tidak mempunyai dasar hukum seperti jenis pengadilan-pengadilan lain di Indonesia. Tetapi DPR dengan hak yang dimilikinya, DPR dalam membahas RUU tersebut melampaui putusan MK yaitu bermaksud mengebiri kewenangan KPK dalam bidang penuntutan. Hukum yang demikian apabila nantinya disahkan akan mendorong pendistorsian trilogi tujuan hukum.

Substansi maupun mekanisme penegakan hukum yang hendak didesain akan melahirkan negasi trilogi tujuan hukum. Keberhasilan KPK dengan dinamikanya mengembalikan keyakinan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi dan mencoba meraih mimpi Indonesia tanpa korupsi. Hukum (baca: undang-undang) yang mendistorsi trilogi tujuan hukum hanya akan sekedar menjadi alat kekuasaan dan menjauhkan dari dari nilai-nilai yang bersifat preskriptif. Nilai-nilai tersebut hadir dalam asas dan norma yang mengatur kaedah berperilaku sebelum adanya hukum (formal) mengatur hubungan-hubungan antar individu dalam masyarakat.

Distorsi trilogi tujuan hukum terjadi juga pada pembahasan RUU Jaminan Produk Halal yang cenderung menghamba pada keyakinan tertentu dan mengesampingkan nilai-nilai universal yang dijadikan dasar bagi pembentukan NKRI. Dengan maksud yang sama-sama terpuji yaitu melindungi konsumen dari itikad tidak baik dalam memproduksi makanan dan minimum, RUU Jaminan Produk Halal menjadi RUU Keselamatan dan Keamanan Produk. Artinya nilai-nilai pluralisme yang sudah hidup bahkan sebelum Indonesia lahir dicoba untuk diingkari oleh DPR.

Hukum dengan distorsi trilogi tujuan hukum berpotensi meniadakan nilai-nilai yang mewujud dalam norma dan asas. Dimana nilai-nilia tersebut sudah lama hidup dan diakui oleh bangsa Indonesia, dan DPR mencoba mengingkari keberadaanya dengan mencangkokkan nilai-nilai lain yang dapat mengganggu keharmonisan nilai yang selama ini dianut.Padahal hukum seharusnya mencipta yaitu mencipta keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, kalaupun meniadakan maka yang hendak ditiadakan adalah ketidakadilan, ketidaktertiban dan ketidakkepastian hukum.

Bertolak dari gagasan diatas maka sekedar mengingat bahwa ada adagium, legislatorum est viva vox, rebus et non verbis legem imponere (the voice of legislators is living voice, to impose laws on things, and not words). Dalam konteks Indonesia kekinian maka DPR dalam membentuk hukum (baca: undang-undang) harus menyadari bahwa dirinya adalah suara yang hidup, suara yang mewakili rakyat bukan dirinya sendiri atau partainya sendiri. Dengan menghidupkan suara rakyat dalam pasal di undang-undang maka tidak menjadi huruf yang mati tetapi mampu menggerakkan dan mengarahkan penegakan hukum ke terciptanya trilogi tujuan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar